Page 153 - hujan
P. 153
terkejut sekali saat tahu kamu menerima penghargaan Organisasi Relawan.
Kalau kamu sempat bilang, Papa bisa me minta Gubernur menyiapkan segala
keperluan di sana.”
”Oh, ini pasti Maryam, bukan? Hai, Maryam.” Istri Wali Kota menoleh ke arah
Maryam, mengulurkan tangan dengan ramah.
Maryam sedikit gugup bersalaman—tidak ada lagi anting logam perak di
telinga, tidak ada yang akan memandu sikap ter baik.
Lail dan Maryam tidak bisa menolak jemputan itu. Mereka meletakkan ransel
di bagasi, naik ke atas mobil. Istri Wali Kota duduk di belakang kemudi. Lail
duduk di depan. Dia mulai ter biasa setelah pengalaman di Ibu Kota. Jadi dia
bisa bercakap-cakap dengan lebih nyaman. Apalagi Maryam bersamanya, teman
sekamarnya itu segera menyesuaikan diri, pandai me lontarkan lelucon, membuat
suasana menjadi santai.
Mobil ternyata tidak menuju ke panti sosial.
” Ini ide Claudia, Lail. Kamu tidak bisa menolaknya. Dia meng undang kalian
makan siang di rumah,” istri Wali Kota men jelaskan.
Lail menoleh ke arah Maryam yang duduk di belakangnya. Tatapannya seakan
meminta jawaban.
”Ayolah, Lail, kamu tidak pernah mau berkunjung ke rumah ku dua tahun ini.
Jika bukan kejutan seperti ini, kamu tidak akan bersedia, kan? Ibu Esok juga
ikut makan siang di rumah, me nutup sebentar toko kuenya. Please.” Claudia
tersenyum mem bujuk.
Lail terdiam, menoleh. Maryam di jok belakang terlihat tidak keberatan.
Baiklah, jika di sana ada ibu Esok, mereka lebih nya man.
Claudia bersorak senang setelah Lail mengangguk setuju.
Mobil listrik melaju menuju kediaman Wali Kota. Tidak jauh dari stasiun
kereta cepat. Lima belas menit perjalanan. Melewati hutan kota yang hijau,
taman-taman bunga. Itu lokasi terbaik seluruh kota.
Wali Kota menyambut mereka di pintu depan.
”Seharusnya aku ikut menjemput kalian berdua di stasiun kereta. Astaga,