Page 155 - hujan
P. 155
” Mereka hanya saudara angkat, Lail, jadi bisa saja saling jatuh cinta. Jika itu
terjadi, kamu bukan tandingan Claudia dengan kecantikan, kebaikan, dan semua
yang dia miliki. Kamu terlihat kusam saat duduk bersamanya. Kalau aku jadi
kamu, aku akan cemas sekali.” Maryam tertawa kecil.
Lail melotot. Itu yang dia tidak pernah suka dari Maryam. Teman sekamarnya
itu selalu terus terang menyampaikan apa yang ada di kepalanya.
Maryam sudah membawa ranselnya, lari meninggalkan Lail, sebelum Lail
berteriak marah.
***
Satu minggu kemudian, Lail dan Maryam pindah.
Seluruh panti melepasnya. Ibu Suri mengantar mereka dengan mobil listrik
milik panti. Barang-barang Lail dan Maryam dimasukkan ke dalam bagasai.
Tidak banyak. Mereka terbiasa eJsien sejak dari tenda pengungsian. Hanya
pakaian, buku-buku, dan dua kardus pernak-pernik.
”Sekali-sekali mampirlah ke panti.” Ibu Suri menggenggam jemari Lail dan
Maryam di lobi asrama sekolah keperawatan.
Lail dan Maryam mengangguk.
” Kami punya sesuatu untuk panti.” Maryam mengeluarkan amplop dari saku.
” Ini apa?” Ibu Suri membuka amplop. Itu cek digital, ber bentuk kartu pas
biasa, tapi berisi saldo uang. Tinggal dibawa ke bank, ke ATM, atau mesin
EDC. Saldo uangnya bisa di transfer atau diguna kan untuk membayar sesuatu.
” Hadiah yang kami terima di Ibu Kota,” Lail yang menjawab, ”untuk panti
sosial.”
Ibu Suri menatap Lail tidak percaya. ” Ini banyak sekali, Lail. Bah kan bisa
kamu gunakan untuk membangun rumahmu.”
”Aku tidak mau membangun rumah itu. Hanya mengembali kan kenangan
lama.” Lail menggeleng. ” Uang ini jauh lebih ber guna bagi panti sosial. Kita tidak
tahu apa yang akan terjadi satu-dua tahun ke depan, bisa saja kota kita
mengalami musim dingin ekstrem. Uang ini bisa digunakan untuk membeli
selimut, makanan, apa saja untuk keperluan penghuni panti.”