Page 145 - hujan
P. 145

utama  secara  gratis.  Hanya  penduduk  kaya  raya  yang  mampu  membayar  premi,

                atau  pejabat  tinggi,  atau  orang  yang  sangat  berjasa  yang  memiliki  akses  itu.  Ke-

                banyak an penduduk  hanya  memegang  Lisensi  Kelas  B  hingga  D.  Maryam,  yang
                yatim-piatu    sejak   bayi,   tinggal   di   panti   asuhan,   dari   keluarga   miskin,   bahkan

                sebelum    bencana    gunung    meletus,   tidak   percaya   melihat   kartu   yang   mereka

                pegang. Dia menangis terisak.
                  Lail   merengkuh    bahu   sahabatnya,    berjalan   menuruni    tangga,   menuju   balik

                panggung.

                  ” Berhenti menangis, Maryam,” Lail berbisik.
                  Maryam tetap menangis.

                  ”Air matamu bisa membuat banjir ballroom.” Lail ter tawa pelan.

                  Maryam  menyeka  pipinya.  ” Kamu  jangan  merusak  kebahagia an ku  malam  ini,
                Lail.”

                  Mereka    tiba   di   belakang   panggung,   menerima    ucapan   selamat   dari   banyak

                orang.  Kamera  kecil  yang  terbang  di  atas  kepala  berkali-kali  menjepret  momen
                penting.   Tangis   Maryam     ber angsur   reda.   Saat   itulah,   saat   Lail   masih   sibuk

                menerima ucapan selamat, seseorang ikut menghampiri Lail.

                  Orang itu mengenakan topi biru dengan tulisan putih ”ñe Smart One”.
                  ” Halo, Lail. Apakah aku boleh melihat kartu yang kamu pe gang?”

                  Lail mematung, menatap tidak percaya siapa yang telah ber diri di depannya.

                  Esok.  Orang  yang  paling  ingin  dia  temui  setahun  terakhir.  Esok,  orang  yang

                menyita    waktunya     setiap   dia   memikirkannya,     telah   berdiri   di   sana.   Esok
                tersenyum lebar, senyum yang selalu dia ingat sebelum beranjak tidur.

                  Mereka saling tatap sebentar, kemudian tertawa bersama.
                  Lail berseru senang. Ini sungguh kejutan. Aduh, dia tidak me nyangka.

                  Hingga  Lail  lupa  bahwa  Maryam  masih  berdiri  di  sebelahnya.  Wajah  Maryam

                terbelalak, mencengkeram lengan Lail erat-erat, ber bisik gugup, ” Ya Tuhan, Lail.

                Kamu...    Kamu    tidak   pernah   bi lang   padaku....   bahwa....   bahwa   anak   laki-laki
                dengan sepeda me rah itu adalah Soke Bahtera.”
   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150