Page 224 - hujan
P. 224

” Kamu    mau   naik   sepeda   bersamaku?    Kendaraan     paling   canggih   ini?”   Esok

                tersenyum.

                  Lail mengangguk.
                  Tiga  puluh  detik  kemudian,  sepeda  merah  itu  sudah  meluncur  meninggalkan

                halaman     aula   sekolah   keperawatan.     Beberapa    undangan     mulai    menunjuk,

                berbisik-bisik,  apakah    pemuda    yang   berdiri   di   bawah   pohon   bersama   Lail   itu
                adalah Soke Bahtera?

                  Lima  belas  menit  kemudian,  dengan  pakaian  basah  kuyup,  Maryam  mencak-

                mencak  mencari  Lail,  yang  tidak  ditemukannya  di  sudut  mana  pun  di  sekolah.
                Maryam berteriak-teriak sebal.

                                                            ***

                Sepeda  merah  sudah  melintasi  tanjakan  panjang—tempat  dulu  Esok  mengejar
                bus yang ditumpangi Lail.

                  ”Aku tidak bisa mengayuh sepeda secepat dulu lagi.” Esok se dikit tersengal.

                  ” Kenapa?”
                  ” Kamu  sudah  besar,  Lail.  Aku  bukan  lagi  memboncengkan  anak  perempuan

                usia tiga belas tahun. Kini kamu lebih berat.”

                  ” Kamu    mau   bilang   aku   gendut?”   Lail   di   jok   belakang   me lotot—dia   masih
                mengenakan toga lengkap dengan topinya.

                  ”Aku tidak bilang begitu.” Esok tertawa.

                  ” Bilang saja aku gendut. Tidak usah menyindir.”

                  Mereka    melintasi   kota,   mengunjungi     banyak    tempat   kenangan     masa   lalu.
                Mengunjungi      stadion    yang   megah,   duduk     di   tribun   paling   atas,   menatap

                lapangan    rumput.   Menonton     beberapa    anak   yang   sedang   berlatih   sepak   bola.
                Mengunjungi      kolam   air   mancur,   duduk   di   bangku   taman.   Setiap   bangku   kini

                dilengkapi   payung    otomatis.   Matahari    bersinar   terik,   langit   biru   tanpa   awan.

                Ting gal tekan tombol di bangku, payung warna-warni akan me ngembang di atas

                kepala.
                  Lail   dan   Esok   membeli   segelas   minuman    dingin   dari   kotak   mesin.   Mereka

                menatap     kolam   air   mancur   yang   tidak   ada   airnya.   Otoritas   kota   mematikan
   219   220   221   222   223   224   225   226   227   228   229