Page 98 - hujan
P. 98

Suri mem berikan waktu bebas.

                  Satu tahun berlalu tanpa terasa.

                  Kesibukan    di   Organisasi   Relawan   bisa   mengusir   banyak   pikir an   dari   kepala
                Lail.  Kenangan  atas  bencana  gunung  meletus,  ayah nya,  ibunya,  termasuk  Esok,

                yang sudah tinggal di Ibu Kota.

                  Usia   Lail   sudah   menginjak   enam   belas   tahun,   latihan   Jsik   yang   berat   oleh
                marinir   membuat     tubuhnya     berkembang     cepat.   Dia   sudah   bertambah   tinggi

                lima  sentimeter.  Juga  Maryam,  tubuhnya  yang  dulu  kurus  menjadi  lebih  berisi.

                R ambut    kribo   me ngem bangnya      dipangkas    pendek    agar   tidak   mengganggu.
                Wajahnya yang berjerawat menjadi lebih bersih.

                  ”Ayo, Lail.” Maryam berdiri di sebelah Lail. Napasnya ter sengal.

                  Hujan turun deras di sekitar mereka, malam gelap gulita.
                  Hamparan      lapangan   tanah   liat   berubah   menjadi   kubangan   lumpur.   Mereka

                susah bergerak. Lail sudah dua kali terjatuh. Maryam mengulurkan tangan.

                  ” Kita baru separuh jalan, Lail.” Maryam memberi semangat.
                  R ansel  besar  yang  berisi  peralatan  medis  dan  obat-obatan  ter pasang  mantap  di

                punggung Maryam. Pakaian relawannya kotor oleh tanah liat.

                  Lail   mengangguk,     menggenggam      tangan    Maryam,    bangkit   berdiri.   Mereka
                tidak boleh terhenti. Penduduk membutuhkan bantuan pertama. Hanya mereka

                berdua yang berada di garis terdepan.

                  Lail   dan   Maryam   kembali    berjalan   bersisian,   menerobos   ku bangan   lumpur

                setinggi betis. Semakin jauh mereka  maju, se makin dalam kubangan itu.
                  ” Kita  tidak  bisa  melewatinya,  Maryam!”  Lail  berseru,  berusaha  mengalahkan

                suara   hujan,   menatap   ke   depan.   Perkampungan     pen duduk    yang   mereka   tuju
                masih  jauh,  kubangan  sudah  se tinggi  pinggang.  Hujan  deras  terus  mengepung.

                Petir   menyambar      membuat      terang   gelapnya   malam.    Udara    malam     dingin

                menusuk     tulang,   delapan   derajat   Celsius,   dan   mereka   terendam   di   kubangan,

                mem b uat badan membiru.
                  ” Kita harus memikirkan cara lain untuk tiba di sana.”

                  ” Tidak ada cara lain, Lail. Hanya lewat kubangan ini.” Maryam menggeleng.
   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103