Page 183 - Gabungan
P. 183
"Ah, jangan bicara begitu, Paman Untung! Orang-orang Desa
Rahayu juga banyak membantuku, kenapa kau tidak bilang itu? Kita
semua hidup dalam satu desa, saling peduli, saling membantu.
Membantu orang lain sebenarnya juga membantu diri sendiri!"
"Tuan Bai sudah benar-benar menyatu dengan bangsa kami."
"Ya, aku sendiri juga merasakan hal itu…" Bai Datou mengangguk.
"Yati, dulu aku juga pernah memberitahumu. Rami dan aku
membunuh komandan regu Jepang, Tanaka Takeo, dan membuat
masalah besar. Kalau bukan karena Tuan Bai, bukan hanya aku dan
Rami yang tewas, mungkin seluruh Desa Rahayu dan Desa Kauman
di seberang sudah musnah…" Untung Budiman memandang Bai
Datou yang baik hati dan ramah. Kedua orang tua itu saling
memandang, tersenyum, dan serangkaian kenangan mengerikan
muncul di benak mereka.
Itu terjadi seminggu sebelum Kaisar Hirohito menyatakan
menyerah—entah tanggal 6 atau 7 Agustus 1945, Untung Budiman
sendiri sudah tidak ingat persis. Saat itu tengah hari, Untung Budiman
sedang mencari rotan di gunung. Tiba-tiba, dia mendengar teriakan
istrinya, Rami, dari bawah:
"Tolong, Pak Untung! Tolooong!"
Untung Budiman segera turun sambil memegang parang. Teriakan
itu semakin dekat. Ia bersembunyi di balik pohon besar dan melihat
183

