Page 118 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 118

yang  sama ratusan kali, ia muak  harus selalu tersenyum  pada penonton
              yang egois, ia terjerat menjadi robot irama..
                  “Yang  namanya  lagu  ’Darah  Muda’Rhoma  Irama  mungkin  sudah
              dua  ratus  kali  Abang  bawakan.  Penonton  mendesak  terus,  sementara
              Abang sudah mati rasa dengan nada-nada lagu itu... hi... hi... hi.
                  “Mendengar  nama  Kak  Rhoma  Irama  disebut,  telingaku  berdiri.
              Ingin aku melakukan request pada Bang Zaitun untuk membawakan lagu
              itu.  Tapi  aku  tak  ingin  menambah  beban  hidupnya.  Aku  takjub  karena
              Bang  Zaitun  mampu  menertawakan  kepedihannya  sekaligus  demikian
              bahagia gara-gara dua bilah gigi palsu. Sungguh beruntung manusia yang
              dapat mengail kesenangan dari hal-hal kecil yang sederhana..
                  “Hi... hi... seharusnya orang tidak mempelakukan dan diperlakukan
              musik seperti itu ya, Boi... Tapi apa boleh buat... begitulah tuntutan periuk
              belanga. Maka jangan kausangka jadi musisi itu mudah. Di balik senyum
              dan tawa di panggung itu ada siksaan tertentu yang tak dilihat orang dari
              luar... hi... hi... hi..
                  “Bebal, Boi!! Orang bisa menjadi bebal jika menyanyikan lagu yang
              sama dua ratus kali!! Hi... hi... hi.
                  “Usai  menyeruput  kopi,  bubuk  hitam  lekat  di  sela-sela  gigi  emas
              putih Bang Zaitun kontras sekali. Lalu asap tembakau Warning bergelung-
              gelung  dalam  mulutnya.  Ia  adalah  prasasti  mentalitas  manusia
              antikemapanan. Duduk didepannya aku tak percaya pada mataku sendiri,
              laki-laki tak berijazah ini pernah memiliki enam puluh tujuh orang pacar!
              Sungguh “Abang tengok guru, ingin abang jadi guru, tak tahu bagaimana
              rasanya  mengurus  anak-  anak  yang  senewen  tingkahnya  hi...  hi.  .  hi...
              Abang  tengok  lagi  polisi,  mau  jadi  polisi  rasanya,  tak  tahu  bagaimana
              nanti  menanggung  beban  batin  kalau  tua  pensiun.  Lihat  nelayan  ingin
              jadi  nelayan,  tapi  Abang  tak  pernah  mau  jadi  anggota  Dewan,  Bou.
              Orang-  orang  itu  selalu  dianggap  tak  becus.  Kasihan  mereka,  bukan??
              Hi... hi... hi..
                  “Abang  sudah  main  orkes  tiga  puluh  tahun,  Boi.  Kalau  hitungan
              pegawai  negeri,  Abang  sudah  diundang  ke  Istana  negara,  diajak  jalan-
              jalan  ke  Taman  Mini  sama  presiden...  hi...  hi...  hi.  Abang  malang
              melintang  dari  panggung  ke  panggung,  dari  kampung  ke  kampung,
              membawakan  lagu  itu-itu  saja.  Tak  tahukah  engkau,  Boi?  Abangmu  ini
              sudah jadi juke box! ”.
                  Sedetik  berkelebat  kepahitan  pada  wajah  laki-laki  ceking  yang
              sangat  menyenangkan  ini.  Tersirat  beban  pada  nada  bicaranya.  Beban
              yang ingin ia tumpahkan pada bukan orang musik..
                  “Kau  tahu  juke  box,  kan??  Mesin  musik!!  Seperti  tampak  film-film
              barat itu. Kaumasukkan uang logam lalu mesin itu  bernyanyi. Abangmu

                                          116
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123