Page 147 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 147

Bukan Mauku! Aku hanya menanyakan kabarnya! ”.
                  Nurmala terus menyangkal walaupun matanya penuh ragu. Dan kau
              tak salah dengan kesan satu detik yang kutangkap tadi. Sekarang wajah
              Nurmala kaku sarat penderitaan karena ingin sekali tahu kabar Arai dan
              karena ego yang mulai tercabik-cabik. Tapi semuanya dapat ia kendalikan
              dengan  bersembunyi  di  balik  tembok  tebal  gengsinya,  yang  justru
              semakin  membuatnya  menderita.  Women!  Sekarang  aku  mengerti
              mengapa  Sigmung  Freud  tak  dapat  memahami  keinginan  wanita
              meskipun  telah  melakukan  penelitian  tentang  wanita  selama  tiga  puluh
              tahun,  semuanya  karenaa  wanita  sendiri  sering  tak  tahu  apa
              keinginannya..
                  “Kalau  aku  jumpa  Arai,  nanti  kusampaikan  kau  menanyakan
              kabarnya, oke?.
                  Nurmala menjadi genit, “Oke, tapi jangan bilang ada salam dari gue.
                  “Gue? Anak Melayu bilang gue. Sungguh besar tuntutan pergaulan.
              Beberapa orang sampai harus kehilangan identitas..
                  “Dibayar berapa loe ama Arai buat jadi Public relation-nya begitu?.
                  Ah, ah, aku senang pembicaraan seperti dalam buku pop literature
              ini. Barangkali setelah ini ia akan menanyakan: Arai sudah punya pacar
              blom? Atau kapan elo terakhir ketemu doski?.
                  Dan perutku melilit..
                  “Kapan sih elo ketemu doi lagi? “


                                   *******************


              Waktu yang pandai menipu demikian cepat berlalu. Tak terasa aku telah
              menyelesaikan  kuliahku.  Sekarang  aku  merasa  memiliki  tenaga  baru
              untuk menemukan potongan- potongan mozaik nasibku. Pekerjaan sortir
              dan hidupku secara keseluruhan mulai kurasakan sepi tantangannya. Aku
              ingin  menghadapisuatu  kesulitan  yang  membuatky  terus  berkembang,
              aku  ingin  menjadi  bagian  dari  sesuatu  yang  penting  dan  besar.  Aku
              berpikir   untuk   meninggalkan   pekerjaan   sortir   dan   kembali
              mengekstrapolasikan kurva semangatku yang terus menanjak..
                  Aku  baru  saja  lulus  kuliah,  masih  sebagai  plonco  fresh  graduate,
              ketika membaca sebuah pengumuman beasiswa strata dua yang diberika
              Uni Eropa kepada sarjana-sarjana Indonesia.
                  “Possibility!  “kata  Capo,  maka  tak  sedikit  pun  kulewatkan
              kesempatan.  Aku  belajar  jungkir  balik  untuk  bersaing  memperebutkan
              beasiswa itu. Setelah melalui berbagai tes yang panjang, aku sampai pada

                                          145
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152