Page 84 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 84
Atas saran teman aku datang ke sebuah klinik. Sekali lagi
aku mencoba terapi. Entah apalagi namanya. Terapist itu
bertanya, ”Apa rumah ibu dekat tower?” Aku mencoba
mengingat-ingat. “Ya, benar” Aku ingat ada tower di pasang
di RT sebelah. Kata terapist itu, tower bisa berpengaruh
terhadap saraf. Aku semakin bingung ketika terapist itu
menyarankan untuk pindah rumah. Jelas tidak mungkinlah.
Suamiku tidak bakal percaya hal-hal seperti itu.
Tapi kusampaikan juga apa yang menjadi saran terapist
itu.
“ Buktinya kok tidak ada orang lain yang sakit seperti
kamu?”, suamiku hanya komentar begitu.
“Ya aku tidak tahu. Aku juga tidak percaya dengan
terapist itu.” Kataku. Kesabaranku masih tak bertepi. Aku
jalani terapi di klinik itu. Aku disuruh berbaring di sebuah
dipan, yang dibawahnya seperti ada lempengan logam.
Katanya logam itu akan menyerap senyawa kotor dari
tubuhku.
Terapi itu kujalani selama hampir enam bulan, tapi
hasilnya nihil. Aku sudah putus asa. Aku sudah hampir
menyerah. Kesabaranku akan berumur berapa panjang lagi?
Kemana lagi aku harus berobat? Aku ingin sembuh.
Astaghfirullahal’adziim.
***
Pada suatu hari ibuku memberitahuku, ”Ni, katanya
kamu mencari dokter saraf yang perempuan. Ternyata isteri
pak Wakhid itu dokter spesialis saraf.”
“Iya to buk...lha baru tahu sekarang?" Aku mulai
mendapat secercah harapan lagi.
78 | Harini