Page 36 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 36
Dr. Fadli Zon, M.Sc
Padahal, hasil hitung suara riil sementara ini, pasangan ini melampaui angka
40 persen. Jurang akurasinya jauh sekali.
Selisih yang besar antara angka hasil survei dengan angka riil hari
pemilihan itu menurut saya bukan hanya dipengaruhi persoalan metodologi,
tapi juga menyembunyikan bias imagologi. Survei-survei itu seolah hendak
mengkampanyekan citra bahwa pasangan Sudrajat-Syaikhu dan Sudirman-
Ida adalah ‘underdog’ yang tak menjanjikan, sehingga tak layak dipilih.
Memang, dugaan bisa benar, bisa salah. Namun yang jelas, selain
merugikan kandidat tertentu, publikasi yang akurasinya melenceng jauh
semacam itu juga merugikan kepentingan publik. Publik bisa tertipu,
mendapatkan informasi salah, tak akurat, bahkan disinformatif. Inilah
menurut saya belum dilindungi regulasi yang ada. Lembaga survei bisa
menjadikan hasil survei sebagai alat kampanye atau alat politik terselubung.
Mereka tak lagi independen. Bahkan bagi kandidat yang ‘dikecilkan’ hasil
survei, seperti pernah diakui Sudirman Said, itu merupakan sejenis ‘teror’.
Untuk menambah contoh kasus kegagalan lembaga survei adalah
pilkada Jakarta. Banyak lembaga selalu memenangkan Ahok-Djarot, tapi
nyatanya yang menang Anies-Sandi dengan selisih signifikan. Ini yang saya
sindir, jangan-jangan ramalan dukun bisa lebih tepat dibanding lembaga
survei, saking jauh melencengnya prediksi survei. Mereka mengaku ilmiah,
tapi hasilnya seperti main-main.
Sejauh ini keberadaan lembaga-lembaga survei politik hanya diatur
UU No. 1/2015 tentang Perppu Pilkada, UU No. 7/2017 tentang Pemilu, serta
Peraturan KPU No. 10/2018. Isinya sangat normatif. Lembaga survei yang
ingin mempublikasikan survei Pilkada harus mendaftar ke KPU, wajib punya
badan hukum, menyerahkan surat pernyataan tak berpihak, dan ketentuan
administratif sejenisnya. Aturan tadi juga hanya terbatas membuat rambu
soal kapan hasil hitung cepat boleh dipublikasikan.
Memang, dalam Pasal 131 ayat (3) UU No. 1/2015 ditegaskan bahwa
publikasi lembaga survei tak diperbolehkan melakukan keberpihakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu calon. Hal ini juga disebutkan
dalam Pasal 28 ayat (3) PKPU No. 10/2018. Masalahnya, bagaimana mungkin
lembaga survei tak berpihak, jika mereka juga merangkap jadi konsultan
politik yang bekerja untuk menyukseskan kepentingan partai atau kandidat
22 KATA FADLI