Page 37 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 37
POLITIK
& DEMOKRASI BAB I
KITA
tertentu? Itu kan aneh dan kontradiktif. Ini seperti pengacara yang membela
klien.
Belajar dari pengalaman Pilkada 2018 kali ini, saya kira keterlibatan
lembaga survei dalam Pemilu dan Pilpres perlu diatur kembali, minimal
oleh PKPU. Tak boleh lagi soal-soal menyangkut kepentingan publik hanya
masuk ranah imbauan. Kita ingin melembagakan praktik demokrasi yang
sehat dan akuntabel.
Untuk kepentingan regulasi Pemilu dan Pilpres 2019, kita perlu
menegaskan norma bahwa ketika lembaga survei direkrut menjadi konsultan
oleh partai politik atau kandidat tertentu, maka harus diposisikan sama
seperti halnya tim kampanye. Konsekuensinya, posisi mereka sebagai
konsultan harus dipublikasikan secara terbuka oleh partai politik atau
pasangan calon yang merekrutnya.
Agar publik menjadi tahu lembaga survei A, misalnya, merupakan
konsultannya partai X atau calon Y. Sehingga, setiap hasil survei mereka bisa
dicerna secara kritis oleh publik pemilih. Dengan begitu, risiko terjadinya
manipulasi hasil surveipun bisa terminimalisir.
Selama ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) hanya bisa
meminta lembaga survei transparan dalam pendanaan survei yang mereka
lakukan. Imbauan itu kini menurut saya tak lagi cukup, karena bisa saja
dimanipulasi. Namun, jika kita bisa menyusun norma bahwa konsultan politik
itu tak berbeda posisinya dengan tim kampanye, karena pada dasarnya
mereka direkrut untuk memenangkan partai atau kandidat tertentu, maka
setiap partai politik atau pasangan calon presiden wajib membuka siapa
konsultan politik yang mereka pekerjakan.
Ini menurut saya cara yang fair untuk mengawasi lembaga-lembaga
survei, sekaligus melindungi kepentingan publik dari manipulasi informasi
dan kemungkinan terjadinya disinformasi. Hal ini juga baik bagi demokrasi
yang transparan agar lembaga survei tak jadi tim kampanye terselubung.
Jakarta, 30 Juni 2018
CATATAN-CATATAN KRITIS 23
DARI SENAYAN