Page 167 - BUKU TIGA - WAJAH BARU PARLEMEN INDONESIA 1959-1966
P. 167
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
Pimpinan Lembaga Tertinggi, baik MPRS, DPR-GR, DPA BPK,
bahkan juga Ketua Depernas (Dewan Perancang Nasional) dan
Sekjen, Front Nasional, semuanya berstatus menteri dan merupakan
pembantu Presiden. Dengan demikian, musyawarah di antara mereka
tidaklah merupakan musyawarah antara pimpinan negara melainkan
merupakan musyawarah antara Pimpinan Besar Revolusi dengan para
pembantu-pembantunya menurut bidangnya masing-masing.
Dalam proses lahirnya suatu undang-undang tersebut, dikenal
dengan bentuk Badan Perancang Departemen (Baperdep) yang bertugas
membantu menyusun perencanaan bagi tiap-tiap departemen,
termasuk menyiapkan naskah suatu Rancangan Undang-undang dalam
bidang departemen yang bersangkutan. Keanggotaan Baperdep adalah
terdiri atas para ahli menurut bidangnya dan ditunjuk oleh Menteri
Baperdep yang dipimpin langsung oleh Menteri yang bersangkutan
susunan keanggotaan Baperdep yang terdiri atas beberapa Kepala
Biro dari Departemen, ahli-ahli dari luar (termasuk juga beberapa
dari anggota-anggota DPR-GR). Adapun duduknya beberapa anggota
DPR-GR, dalam Baperdep dimaksudkan oleh Pemerintah bahwa
dengan telah diikut sertakannya beberapa anggota DPR-GR. Dari
Sistem integrasi sejak menyiapkan naskah suatu Rancangan Undang-Undang kiranya
itu terbukti akan dapat lebih memperlancar lagi proses pembicaraannya apabila
pada waktunya nanti Pemerintah menyampaikan rancangan atau RUU,
menjurus ke arah kepada DPR-GR.
yang mengurangi Sistem integrasi itu terbukti menjurus ke arah yang mengurangi
ruang gerak, ruang gerak, kedudukan, tugas, dan wewenang DPR-GR. Hal ini
kedudukan, tugas, disebabkan oleh integrasi politik yang merupakan suatu heharusan
dalam suasana gotong-royong dalam praktik menjadi integrasi-
dan wewenang administratif, yang Pimpinan DPR-GR yang mendapat sebutan
DPR-GR. Wampa/Menko Menteri ternyata hanya merupakan pembantu
Presidium dan tidak merupakan bantu membantu antara DPR-GR
dan Presiden, lebih-lebih dengan tidak adanya apa yang disebut
Musyawarah Pemimpin Negara.
Ruang gerak, kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR,
sebagaimana diterangkan di atas, sudah berkurang, ditambah pula
dengan berkurangnya pandangan masyarakat terhadap DPR-GR,
timbullah adanya anggapan bahwa DPR-GR hanya merupakan Yes-
Men, sedangkan Demokrasi Terpimpin dalam pelaksanaannya lebih
condong pada terpimpinnya dan sering terjadi adanya pengabaian
terhadap prinsip-prinsip demokrasi. 199
199 Op.Cit, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dpr.go.id 162