Page 220 - BUKU TIGA - WAJAH BARU PARLEMEN INDONESIA 1959-1966
P. 220
K ONS TELA SI POLITIK MA S A
DEMOKR A SI TERPIMPIN
baik ini oleh Soekarno, tetap menyiratkan kekhawatiran akan mulai
goyah kembali jika pihak Angkatan Darat memfokuskan dirinya pada
berbagai persoalan dalam negeri yang belum terselesaikan karena
semua tenaga, pikiran, dan dana seluruhnya untuk kegiatan politik,
yaitu pembebasan Irian Barat. 263
Di sisi lain juga ada kekhawatiran dari kalangan Angkatan Darat
bahwa di akhir krisis bahwa mereka akan dimanfaatkan oleh Presiden
Soekarno untuk melemahkan kekuatan Angkatan Darat melalui cara
menghidupkan kembali Undang-undang Darurat Perang. Keberhasilan
pembebasan Irian Barat cukup baik dengan implikasi keseimbangan
politik yang terjaga stabil, namun tidak mampu memberikan tambahan
energi kepada kekuatan-kekuatan yang sedang bertanding mengalami
perubahan. Determinan kekuatan politik tetap berada di tangan
Presiden Soekarno, dan para pimpinan Angkatan Darat. Sementara
itu, pimpinan PKI terkendala untuk mampu mengambil prakarsa dari
situasi politik yang ada. Keseimbanagan politik ini berubah ketika
terjadi percepatan tindakan politik untuk mengganyang/konfrontasi
dengan Malaysia (1963). Soekarno memberikan kesempatan kembali
kepada PKI untuk muncul ke permukaan dari sayap perlindungannya,
sebagai kekuatan politik yang dinamis berdasarkan kekuatannya
sendiri.
264
4.1.3. Kedekatan PKI—Soekarno (2):
Ganyang Malaysia
Di sisi lain juga ada Selanjutnya bagaimana contoh kedekatan PKI kepada Presiden
kekhawatiran dari Soekarno atau sebaliknya yang saling membutuhkan dalam peristiwa
kalangan Angkatan Ganyang Malaysia, 1963-1966. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa
Demokrasi Terpimpin terjadi konflik antara Indonesia dengan Malaysia.
Darat bahwa di
Konflik/konfrontasi dua negara ini lebih dikenal dengan sebutan
akhir krisis bahwa Ganyang Malaysia. Latar belakang terjadinya peristiwa tersebut karena
mereka akan ada keinginan dari pihak federasi Malaya atau Persekutuan Tanah
dimanfaatkan oleh Melayu, yang ingin menggabungkan Brunei, Sarawak, dan Sabah
ke dalam Federasi Malasyia. Keputusan tersebut dapat dikatakan
Presiden Sukarno
sebagai pelanggaran atas Persetujuan Manila yang ditandatangani
untuk melemahkan oleh Indonesia, Filipina, dan Federasi Malasyia. Situasi tersebut
kekuatan Angkatan menjadikan Presiden Soekarno marah dan melabeli Malaysia sebagai
Darat boneka imperialis Inggris yang akan melakukan penjajahan di wilayah
263 Nur Hasanah, Op. Cit., hlm. 99-100.
264 Ibid., hlm., 101-102
SEJARAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 217
REPUBLIK INDONESIA 1918 – 2018