Page 172 - BUKU EMPAT - DPR RI MASA ORDE BARU: MENGUATNYA PERAN NEGARA 1967-1997
P. 172
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
kepastian hukum, dengan tidak mengurangi keabsahan perkawinan
menurut ketentuan adat maupun agama. F-ABRI juga meninjau masalah
perkawinan dari aspek ketahanan naslonal, khususnya ketahanan
bidang sosial.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia yang dijurubicarai H.
Pamuji dalam pemandangan umumnya antara lain menginginkan
adanya suasana yang tenang dan kebijaksanaan yang penuh toleransi
dalam membahas RUU Perkawinan. Materi yang diatur dalam RUU ini
cukup rumit, sensitif dan menyentuh kaidah hukum keagamaan dan
oleh karenanya maka RUU ini harus memuat tiga unsur pokok yaitu:
agama, adat dan administrasi negara. Serta hendaknya agamalah yang
menjadi pendorong dan motivasi dari lahirnya RUU ini. Kelangsungan
perkawinan yang sah dilangsungkan menurut hukum adat atau
Banyaknya hukum agama, tidak perlu menyingkirkan adanya pencatatan sebagai
persengketaan persaratan kelengkapan/ketertiban administrasi negara. FPDI
dalam perkawinan menyatakan mutlak diperlukan adanya UU perkawinan yang bersifat
nasional dan menjamin kesatuan/persyaratan bangsa yang berbhineka
dewasa ini tunggal ika, yang sebenarnya sudah sejak lama diinginkan bahkan
disebabkan tidak sebenarnya sudah ada tuntutan sejak jaman RA Kartini.
jelasnya hukum Fraksi Karya Pembangunan dengan juru bicara Ny. Nelly
perkawinan yang Adam Malik dan K. H.S. Oodratullah antara lain mengemukakan
berlaku. pokok-pokok pikiran antara lain: Masalah RUU Perkawinan sebagai
sarana untuk menciptakan kehidupan yang kekal dan bahagia adalah
menjadi bagian dari perjuangan kaum wanita Indonesia dan telah
puluhan tahun mengalami kegagalan. Banyaknya persengketaan dalam
perkawinan dewasa ini disebabkan tidak jelasnya hukum perkawinan
yang berlaku. Cinta kasih suami isteri yang bersifat total dan eksklusif
menuntut adanva perkawinan yang monogami dan kekal, Hanyalah
dalam keadaan yang luar biasa serta dengan alasan-alasan istimewa
saja suami dapat berpoligami. Kalau terjadi perkawinan, hendaklah
akibat·akibatnya telah diatur dalam undang-undang sehingga anak-
anak tidak terlantar karenanya.
Hal-hal seperti dikemukakan di atas menurut FKP adalah
sudah tertampung dalam RUU perkawinan dan sesuai dengan tuntutan
kaum ibu. Oleh karenanya adalah mengherankan apabila ada kaum
ibu yang menolak RUU ini dan bahkan menuntut agar Pemerintah
menariknya kembali. RUU yang diajukan oleh Pemerintah ini sebagai
suatu prestasi yang patut dibanggakan dalam mengatasi kebutuhan
masyarakat sesuai dengan hukum yang ditetapkan dalam GBHN,
dpr.go.id 166
Bab III.indd 166 11/21/19 18:10