Page 29 - BUKU EMPAT - DPR RI MASA ORDE BARU: MENGUATNYA PERAN NEGARA 1967-1997
P. 29
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
dari aturan main yang dibuat Soeharto untuk dapat menentukan
posisi dan kedudukan orang-orang yang duduk dalam legislatif dan
mengontrolnya melalui kekuatan militer (tentunya sesuai dengan
kepentingan Presiden). MPR sendiri sebenarnya tidak membuat
Presiden akuntabel dalam hal ini.
Sekalipun sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih
Presiden dan wakilnya, anggota MPR bukan diproses melalui pemilihan
(tidak dipilih rakyat) melainkan sebagian besar melalui pengangkatan
Hanya fraksi partai politik yang dipilih rakyat (itu pun dimenangkan
Golkar secara mayoritas mutlak akibat kebijakan monoloyalitas
yang merepresentasikan kepentingan Presiden). Sementara itu,
pengangkatan yang dilakukan untuk merekrut anggota MPR (misalnya,
utusan golongan dan utusan daerah) lainnya berada di tangan Presiden.
Terjadinya ketimpangan dalam kekuasaan lembaga tinggi negara
tidak hanya mematikan mekanisme kontrol atau check and balance dari
DPR. Kondisi ini pada gilirannya juga telah memunculkan kediktatoran
Presiden Soeharto. Menurut Mohtar Mas ‘oed, kebangkitan
kediktatoran pada masa Orde Baru sebenarnya merupakan kebutuhan
Menurut struktural dalam menghadapi tantangan. Tantangan tersebut
29
Mohtar Mas‘oed, mencakup warisan struktural Orde Lama, yakni kekacauan politik dan
kebangkitan krisis ekonomi. Selain itu pemerintah juga menghadapi tantangan dari
kediktatoran pendukung Soekarno yang membahayakan kedudukan penguasa baru.
pada masa Orde Kondisi lemahnya lembaga legislatif di hadapan pihak eksekutif
Baru sebenarnya selama Orde Baru tersebut utamanya berpangkal pada mekanisme
merupakan pengisian badan perwakilan negara dengan dua cara, yaitu dengan
kebutuhan penunjukan wakil-wakilnya dari atas dan dengan memilih mereka
struktural dalam melalui pemilihan umum. Pengisian badan perwakilan negara dengan
menghadapi dua cara tersebut merupakan strategi untuk lebih efektif mengontrol
tantangan DPR/MPR, selain juga partai-partai politik, sejalan dengan kebutuhan
politik penguasa Orde Baru untuk mengamankan kebijakan-kebijakan
politik, ekonomi, dan pertahanan keamanannya. Paling tidak, untuk
meminimalisir kontrol DPR terhadap eksekutif. Dalam pelaksanaannya,
pengisian didasarkan atas Konsensus Nasional tersebut yang dicapai
pada 22 November 1969 antara beberapa pimpinan partai-partai politik
dan militer. Disepakati ketika itu, bahwa ABRI sebagai kekuatan politik
baru mendapatkan 20 persen kursi gratis di DPR dan MPR tanpa
mengikuti pemilu atau diangkat. Dalam DPR hasil pemilu 1971, 1977,
29 Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, hlm. 197-198
dpr.go.id 20
Bab I.indd 20 11/21/19 17:50