Page 471 - BUKU EMPAT - DPR RI MASA ORDE BARU: MENGUATNYA PERAN NEGARA 1967-1997
P. 471
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
Ketua DPR RI, H.J. Naro. RUU Kesehatan kemudian disahkan menjadi
UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang terdiri dari 12 bab dan
90 pasal.
Setelah diresmikan menjadi UU, ternyata oleh banyak
kalangan dianggap masih terdapat celah dalam peraturan tersebut.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, dr. Kartono
Mohammad dalam wawancaranya dengan Kompas menyatakan bahwa
UU Kesehatan sudah baik karena sudah jauh lebih lengkap daripada
draft pertama yang diajukan Departemen Kesehatan. Bagi IDI, adanya
UU Kesehatan memungkinkan untuk lebih mendisiplinkan anggota
karena ada dasar hukum yang jelas. Terkait dengan masalah aborsi,
Kartono Mohammad menyatakan bahwa selanjutnya tentang aborsi
harus diperjelas definisi “tindakan medis tertentu” yang dikatakan
sebagai upaya dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya. Juga perlu dijelaskan berdasarkan indikasi
medis apa saja, bagaimana tata cara penentuan indikasi medis tersebut,
siapa saja yang boleh melakukan, dan dimana boleh dilakukan serta
sistem rujukannya bagaimana. Sedangkan menurut Dr. Kees Bertens
selaku Direktur Pusat Pengembangan Etika pad Universitas Atmajaya
Jakarta menyambut baik UU Kesehatan terutama mengenai klausul
“indikasi medis” tertentu untuk melakukan aborsi. Menurutnya hal
...dukun tidak tersebut adalah kemajuan dibidang kesehatan karena hidup ibu yang
terancam hukuman terancam memang perlu diselamatkan. Yang penting adalah harus
atas aborsi berupa dijaga agar prakteknya tidak menyimpang dari hukum yang telah
denda maksimal dibuat karena selama ini banyak yang secara hukum dilarang tapi
312
500 juta atau dalam prakteknya sangat liberal.
Masih dalam konteks menanggapi UU Kesehatan, Menurut
penjara maksimal Kartono Mohammad, dukun atau pelaku pengguguran gelap
5 tahun karena masih belum terjangkau UU karena rumusan pasal 15 terbatas
tidak melakukan pada “tindakan medik”, yaitu tindakan yang didasarkan pada ilmu
tindakan yang kedokteran dengan cara-cara yang lazim dilakukan dalam dunia
digolongkan kedokteran.” Dengan demikian, dukun tidak terancam hukuman
sebagai tindakan atas aborsi berupa denda maksimal 500 juta atau penjara maksimal
medik. 5 tahun karena tidak melakukan tindakan yang digolongkan sebagai
tindakan medik. Selain itu, pakar hukum Bambang Pernomo menilai
bahwa ancaman pidana dalam UU terlalu berat sehingga terlihat
kurang rasional dari perspektif perkembangan ilmu hukum pidana.
312 “RUU Kesehatan Disetujui Menjadi Undang-Undang, Ketua PB IDI: Aborsi Lebih Mungkin
Diawasi”, Kompas, 10 September 1992, hlm 1.
dpr.go.id 470
Bab VI CETAK.indd 470 25/11/2019 01:40:09