Page 234 - BUKU SEABAD RAKYAT INDONESIA BERPARLEMEN
P. 234

DPR-RI MASA ORDE BARU: MENGUATNYA PERAN NEGARA
                                                                                                         (1967-1998)





                  DPR HINGGA MASA AKHIR ORDE BARU 1992-1998:

                  TANTANGAN BANGKITNYA

                  DEMOKRATISASI?




                  Pemerintah  tampaknya  cenderung  menempatkan  DPR  sebagai  subordinasi
                  negara, atau sekurang-kurangnya partner pemerintah dalam mencapai target

                  ganda Negara Orde Baru: stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi.









                  DALAM cetak biru politik Orde Baru, DPR bukanlah lembaga politik
                  yang otonom. Melalui berbagai instrumen, DPR “diatur” dan “dikenda-
                  likan” oleh Negara. Dalam soal anggaran, misalnya, DPR tidak memi-
                  liki hak keuangan yang otonom. Anggaran Dewan disubordinasikan di
                  bawah Sekretariat Negara, sehingga amat kecil peluang bagi lembaga
                  perwakilan  rakyat  ini  untuk  secara  bebas  merancang  anggaran  dan
                  membiayai  aktivitas  serta  kebutuhannya.  Ini  berarti  bahwa  aktivitas
                  politik Dewan sangat bergantung pada negara, sehingga relatif kecil
                  pula peluang untuk mengambil sikap yang berbeda.

                  Kecenderungan untuk menempatkan DPR lebih sebagai “mitra” nega-
                  ra ini tercermin pula di dalam struktur keanggotaan dan mekanisme
                  rekrutmen atas anggota Dewan. Di luar anggota yang dipilih, Presiden
                  berwenang pula mengangkat 100 orang (20 persen) anggota dari ABRI.
                  Sementara itu anggota Dewan yang dipilih pun bukanlah wakil-wakil
                  rakyat  dalam  artian  sesungguhnya.  Calon  ditentukan  oleh  pengurus
                  pusat organisasi sosial politik dan dikontrol oleh unsur-unsur negara,
                  birokrasi, dan militer melalui mekanisme litsus (penelitian khusus).

                  Jadi, anggota DPR banyak yang tidak kritis karena tersandera. Tapi, un-
                  tuk periode 1992-1998, mulai ada sedikit geliat dari anggota-anggota
                  yang kritis. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, pecahnya hu-
                  bungan baik antara Presiden dan militer, apalagi sejak untuk pertama
                  kalinya terpilih sosok sipil sebagai Ketua Golkar, yaitu Harmoko, mela-
                  lui Munas Golkar 1993. Kedua, perpecahan internal dalam tubuh militer,
                  terutama Angkatan Darat. Ketiga, terjadinya keretakan antara pemodal
                  (konglomerat) dan negara.





                    dpr.go.id                                                                              227
   229   230   231   232   233   234   235   236   237   238   239