Page 161 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 161
Tintin Surtini: Reforma Hukum Agraria Mengenai Penguasaan dan Kepemilikan ... 153
22
sementara. Penguasaan tanah dapat dipertahankan dan diwariskan secara turun temurun.
Jika penguasaan atas tanah ingin diakhiri atau diubah menjadi milik pihak lain, maka proses
pengalihan menjadi sarana legal untuk itu. Proses pengambilalihan dalam rangka pengadaan
tanah dilakukan melalui mekanisme hukum dan ekonomi.
Penguasaan tanah merupakan isu hukum yang penting. Secara geografis, dari total luas
daratan di Indonesia hampir 191 juta ha, sebagian besar (66,16 persen) merupakan kawasan
hutan, sedangkan untuk pertanian dengan berbagai agroekologi (sawah, tegalan, dan
perkebunan) adalah 36,35 juta ha (18,72 persen). Perluasan lahan pertanian di Indonesia
23
berkembang agak lambat. Tanah pertanian yang sebesar 18,72% tersebut sangat mungkin
berubah peruntukannya. Dengan perkembangan di wilayah dimana tanah berada, perubahan
peruntukan tanah dapat terjadi. Di wilayah Karawang, Cikarang, Cibitung, misalnya, yang
sebelumnya terdiri dari tanah-tanah pertanian rakyat berubah menjadi pabrik dan sarana
pendukung aktivitas pabrik dan pegawai pabrik.
Pengadaan tanah di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Pengadaan tanah
diasosiasikan dan berimplikasi dengan penggusuran. Kata penggusuran berkonotasi negatif.
Penggusuran berhubungan dengan negosiasi harga tanah untuk penggantian yang
sekedarnya, bila tidak dapat dikatakan merugikan. Jika pemilik tanah memiliki sertifikat
tanah, maka proses negosiasi akan berjalan dengan mekanisme dan kedudukan yang setara.
Dengan sertifikat hak atas tanah, pemegang hak memiliki kekuatan untuk melakukan
negosiasi harga ganti rugi. Ketika tanah dibeli atau dialihkan kepada pihak lain, tetapi tidak
dimanfaatkan segera, itu menjadi persoalan. Sangat mungkin transaksi tersebut merupakan
spekulasi. Tanah menjadi tidak berfungsi secara sosial. Akibatnya, nilai tanah melambung.
Penguasaan tanah dapat memicu konflik, baik yang bersifat horisontal, maupun vertikal.
Bila disimpulkan ada beberapa karakter konflik agrarian di Indonesia.Pertama, ia bersifat
24
kronis, massif dan meluas, berdimensi hukum, sosial, politik dan ekonomi. Konflik agraria
merupakan konflik yang berakar dari persoalan lama yang tidak terselesaikan. Misalnya
konflik petani dengan perusahaan perkebunan atau kehutanan disebabkan oleh senjangnya
pemahaman rakyat tentang hak milik dengan konsep hukum kepemilikan. Perusahaan
perkebunan memiliki dokumen hukum lengkap mengenai kepemilikan tanah, yang
membuatnya menguasai tanah-tanah di wilayah tersebut.
Rakyat di satu sisi, tidak mampu memahami bagaimana mungkin orang asing atau
pendatang dapat menguasai dan menyatakan tanah-tanah yang berada di wilayah. Ketika
rakyat dilarang memanfaatkan hasil hutan atau tanah tersebut, maka hal itu memicu protes
dan kemarahan. Aktivitas rakyat tersebut berkenaan dengan matapencarian, status sosialnya
22 http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-penguasaan-tanah.html
23 Syahyuti, “Kendala Pelaksanaan Landreform Di Indonesia: Analisa terhadap Kondisi dan
Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma AgrariaForum Penelitian Agro
EkonomiVolume 22 No. 2, Desember 2004, hlm. 92.
24 http://www.walhi.or.id/penyelesaian-konflik-agraria-wajib-jadi-prioritas-jokowi-jk.html