Page 123 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 123
Hilmar Farid, dkk.
dan resin putih bening. Belandan membebankan sistem pembatasan
pemilikan pribadi terhadap produk-produk hutan yang dikenakan pajak.
Penyelenggaraan pajak terhadap pengumpulan hasil hutan adalah wujud
dari ekstra ekonomi untuk mendorong terbentuknya masyarakat Katu
terhadap pasar (Wood 1999: 80). Kemudian, administratur Belanda
melaporkan, desa-desa dataran tinggi Sulawesi Tengah banyak mem-
punyai pohon damar dan memberinya papan nomer urut serta digantung
di setiap pohon yang mereka miliki. Ini adalah praktek umum di sekitar
dataran tinggi Sulawesi Tengah kebanyakan resin yang bernilai ditemu-
kan (D’Andrea 2003: 232).
Di beberapa tempat di Sulawesi Tengah Belanda menciptakan peta
lokasi dari setiap pohon-pohon damar itu. Namun di Katu, orang-orang
mengatakan bahwa Belanda tidak pernah melakukan sejauh itu. Desa-
desa ditarik pajak menurut laporan mereka didasarkan atas berapa
banyak pohon yang mereka punya. Untuk pandangan Belanda, seluruh
investasi kerja tidak dibaca sebagai produksi agraria atau sebagai sekum-
pulan produk untuk pertukaran barang-barang tidak dapat dikenakan
pajak. (D’Andrea 2003: 235). Investasi tanah dilihat sebagai kaitan dengan
aktifitas secara umum dipertimbangkan pada “pemilikan pribadi” dan
seluruh tanah lainnya telah dipertimbangkan oleh Belanda menjadi milik
negara. Walaupun demikian, hukum agrarian kolonial Belanda menga-
kui hukum adat. Juga, kekuasaan Belanda mengakui wilayah desa dan
mendirikan pengadilan Bumiputera. Jadi, praktek penguasaan hutan
kolonial Belanda didasarkan atas yuridiksi politik dan hukum yang
kemudian mengklaim atas bentangan alam hutan.
Warisan kebijakan hutan kolonial relevan khususnya untuk mema-
hami konteks kesejarahan orang Katu yang mengklaim tanah atas apa
yang dipertimbangkan oleh negara menjadi hutan negara. Institusi kehu-
tanan kolonial sedikit atau tidak menghalangi praktek-praktek orang
Katu karena dataran tinggi pedalaman secara fisik tidak dapat diakses.
Praktek ilmiah kehutanan kolonial dimantapkan untuk spesies khusus
hutan ditemukan di luar Jawa, misalnya kayu eboni di Sulawesi Tengah.
Namun, institusi kehutanan kolonial terutaman menitik beratkan pada
kayu jati Jawa. Berbeda dengan lembaga kehutanan regim orde baru yang
114