Page 213 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 213

Hilmar Farid, dkk.
            dipunyai, dan juga mengembangkan kemampuan kepemimpinan yang
            baru, khususnya dalam hal memelihara keanggotaan, memobilisasi, dan
            memimpin demostrasi-demonstrasi serta, tentunya, mengembangkan
            argumentasi dalam perebutan tanah. Selain itu, sebagian dari pemimpin
            lokal SPP juga memperluas ruang kepemimpinannya melalui posisi di
            parlemen desa (Badan Perwakilan Desa), yang dipilih secara langsung
            oleh penduduk. Bahkan ada beberapa orang yang telah berhasil mendu-
            duki posisi sebagai kepala desa. Para pimpinan lokal SPP yang mendu-
            duki posisi seperti ini, tentunya menghadapi tantangan yang besar untuk
            mengubah posisi desa dari alat rezim Orde Baru untuk mengendalikan
            dan memobilisasi penduduk, menjadi alat dari komunitas, khususnya
                                               94
            kepentingan petani yang berada di desa itu.  Meski telah ada ralat hukum
            atas UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang telah dila-
                                                                   95
            kukan oleh UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,  ten-
            tu pembaruan desa tidak mudah terwujud. Di Jawa Barat, sepanjang 20
            tahun semenjak diterapkannya pada tahun 1979 sampai 1999, proses-proses
            utama komunitas desa telah ditaklukkan oleh proses-proses birokrasi. 96


                94  Dalam rangka menguatkan kemampuan para pimpinan lokal ini, Yapemas menjalankan
            suatu program yang diberi nama KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria). Pokok
            programnya adalah menguatkan kompetensi pimpinan formal desa dalam rangka menjalankan
            pembaruan agraria. Lihat, Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, “Democratizing Decentrali-
            zation: Local Initiatives from Indonesia”, makalah yang disajikan pada The International
            Association forTthe Study of Common Property 9  Biennial Conference, Victoria Falls,
                                              th
            Zimbabwe, 2002.
                95  Sangat menarik disebutkan di sini bahwa bagian Menimbang butir e. UU No. 22 tahun
            1999 menyebutkan  “bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan di
            Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor
            3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak
            sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 (garis bawah, pen.) dan perlunya mengakui
            serta menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti.”  Melalui
            pemberlakukan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, “desa” hendak
            dikembalikan ‘statusnya’ dari bagian dari pemerintahan yang terendah, seperti diatur dalam
            Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kembali menjadi suatu institusi
            otonom yang memiliki “hak asal-usul”.  Prinsip “otonomi asli” ini, pada tingkat praktis terwujud
            dalam bentuk adanya Badan Perwakilan Desa yang anggotanya dipilih langsung oleh penduduk.
                96  Istilah “negara dalam desa” sangat tepat melukiskan hal ini, lihat Bab 4. “State in the
            Village” dari Hans Antlov, Exemplary Center, Administrative Periphery. Rural Leadership
            and the New Order in Java. Surrey, Curzon Press, 1995, halaman 46–73.
            204
   208   209   210   211   212   213   214   215   216   217   218