Page 214 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 214

Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
               Birokratisasi yang sangat berlebihan di desa-desa di Jawa Barat, telah
               membuat para pemimpin di desa takluk dan menjadi bagian langsung
                              97
               dari “pemerintah”.  Di daerah dataran rendah dengan bentuk ekologi
               yang utama adalah sawah, sentralisasi kekuasaan di desa-desa ini
               merupakan sandaran utama bagi program revolusi hijau, suatu upaya
               meningkatkan produktivitas padi melalui penggunaan bibit hibrida,
               pupuk kimia, pestisida, irigasi dan teknologi pascapanen. Program revo-
               lusi hijau ini telah mengakibatkan semakin terkonsentrasinya penguasaan
               tanah pada segelintir orang kaya yang bertuankan negara di satu pihak,
               dan semakin banyaknya petani yang tak bertanah di pihak lain.  Sedangkan
                                                                 98
               di dataran tinggi, sentralisasi kekuasaan ini memberi keamanan pada
               Perhutani dan/atau perkebunan besar untuk melanjutkan eksistensinya
               di lingkungan desa-desa yang sebagian penduduknya tak bertanah.
                   Sejarah kehadiran SPP dapat ditelusuri dari akhir tahun 1980-an.
               Pada akhir tahun 1980-an itu mulai terjadi ‘koalisi’ antara tokoh-tokoh
               petani yang komunitasnya berkonflik dengan Perhutani dan perkebunan
               besar, yaitu aktivis terpelajar di kota Garut yang tergabung dalam Forum
               Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Garut (FPPMG), aktivis mahasiswa dari
               Bandung yang tergabung dalam KPMURI (Komite Pembelaan Mahasiswa
               untuk Rakyat Indonesia), dan aktivis ornop dari Lembaga Bantuan
               Hukum (LBH) Bandung. Dua kasus utama yang menjadi isu yang mengi-
               kat koalisi ini adalah “kasus Tanah Sagara” dan “kasus Tanah Badega”.

                   Pada intinya, “kasus Tanah Sagara” ini adalah persengketaan antara
               Perhutani dengan 776 kepala keluarga di wilayah Sagara mengenai siapa


                   97  Tak dapat dihitung berapa banyak kata “pemerintah” dipergunakan oleh penduduk
               Indonesia setiap harinya. Namun, jarang sekali pengguna kata “pemerintah” itu menyadari
               asal kata itu. Padahal, arti kata “pemerintah” itu sungguh mempengaruhi hajat hidup penggu-
               nanya. Kata “pemerintah” merupakan kata bentukan, yang berasal dari kata “perintah” diberi
               sisipan “em” di antara huruf “p” dan “e”. Kata “pemerintah” ini, berarti pembuat perintah.
                   98  Lihat Gillian Hart, Power, Labor, and Livelihood: Processes of Change in Rural Java,
               Berkeley: University of California Press, 1986; Gillian Hart et al, (Ed), Agrarian Transfor-
               mation: Local Processes and the State in Southeast Asia, Berkeley: University of California
               Press, 1989; Jonathan Pincus, Class, Power, and Agrarian Change: Land and Labour in
               Rural West Java, Houndmills, Basingstoke, Hampshire: Macmillan Press; New York: St.
               Martins Press, 1986
                                                                        205
   209   210   211   212   213   214   215   216   217   218   219