Page 215 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 215

Hilmar Farid, dkk.
            yang berhak atas tanah seluas 1.100 hektar beserta pohon-pohon jati yang
            ada di atasnya. Persengketaan ini diisi pula dengan peristiwa-peristiwa
            penangkapan dan pemenjaraan terhadap pemimpin FPPMG dan juga
            beberapa tokoh penduduk, hingga menjadikan wilayah tersebut sebagai
            tempat latihan brigade mobil (brimob). Kasus ini berakhir dengan “kalah-
            nya Perhutani”, dengan keluarnya Keputusan Menteri Negara Agraria/
            Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 35-VI-1997 tentang penegasan
            tanah negara sebagai objek pengaturan penguasaan tanah/land reform
                                                    99
            luas  578,71 ha di desa Sagara dan Karya Mukti.  Kemenangan ini men-
            dorong aktivis FPPMG meluaskan wilayah kerja pengorganisasiannya
            pada kasus-kasus lain di Kabupaten Garut, dan kemudian membentuk
            FPMR (Forum Pemuda, Mahasiswa, dan Rakyat) dan Farmaci (Forum
            Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis) yang meluaskan pengorgani-
            sasian petani  ke Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis.
                Pada kurun waktu yang relatif sama, para aktivis mahasiswa di
            Bandung, bersama-sama dengan LBH Bandung, juga mengurus kasus-
                                                           100
            kasus lain di Kabupaten Garut, seperti kasus tanah Badega.   Pada intinya,
            “kasus Badega” ini adalah persengketaan antara 312 petani penggarap di
            gunung Badega - Garut dengan PT. Surya Andaka Mustika mengenai siapa
            yang berhak atas tanah seluas hampir 400 hektar, eksperkebunan PT
            Sintrin. Seperti juga kasus Sagara, kasus ini diisi pula dengan peristiwa-
            peristiwa penangkapan dan pemenjaraan  terhadap beberapa tokoh
            penduduk hingga menjadikannya sebagai tempat latihan perang-
            perangan tentara. Berbeda dengan kasus Sagara, kasus Badega ini lebih
            menjadi pusat perhatian dan menjadi bahan kampanye luas dari aktivis
            mahasiswa dan ornop pada akhir tahun 1980-an.
                Dua kasus konflik tanah ini kemudian menjadi contoh/rujukan dari
            usaha pengorganisasian petani yang dilakukan aktivis-aktivis terdidik
                99  Lihat, Ibang Lukmanudin, “Mari Bung Rebut Kembali, Rakyat Sagara Menuntut
            Hak atas Tanah”, dalam Mengubah Ketakutan menjadi Kekuatan, Kumpulan Kasus-kasus
            Advokasi, Yogyakarta: Insist Press, 2001.
                100  Lihat Dianto Bachriadi, “Warisan Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan
            Pendudukan tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat”, dalam Berebut Tanah: Beberapa
            Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Anu Lounella dan R. Yando Zakaria (Eds.),
            Yogyakata: Insist Press bersama KARSA, 2002.
            206
   210   211   212   213   214   215   216   217   218   219   220