Page 45 - Sejarah/Geografi Agraria Indonesia
P. 45
Hilmar Farid, dkk.
produksi pertanian diusahakan oleh penduduk, produksi tidak menentu
karena dibatasi pemakaian ruang agraria. Produk-produk kebutuhan
pokok seperti beras, jagung, dan sayur mayur didatangkan dari Singapura
23
atau Siam. Hampir setiap tahun terjadi ketidak merataan antara produk
tanaman ekspor dengan produksi pertanian kebutuhan pokok. Relasi
sosial ketimpangan itu berakibat pula pada pola konsumsi buruh
kontrak yang didatangkan dari luar pantai timur Sumatera.
Dampak Perkebunan Besar terhadap Ruang Agraria Petani
Petani-petani di Sumatera Timur mempunyai pola bertani berla-
dang. Setelah mendapatkan hasil dari ladang tanah yang ditanami, para
petani berpindah ke tanah yang lainnya. Pola rotasi penanaman berla-
dang itu membutuhkan 13 kali perputaran, sehingga kalau diperhitung-
kan petani membutuhkan ruang agraria yang diperkirakan luasnya 21
24
hektar. Kemudian, sebagaimana petani tradisional Asia Tenggara mem-
peroleh tenaga kerja dari keluarga mereka sendiri, maka tanah selebar
21 hektar dipekerjakan untuk satu keluarga petani. Pada umumnya keluar
petani di Sumatera Timur adalah orang-orang Batak yang menanam
beras, jagung, tembakau, teh, kopi dan lain-lain.
Mulai tahun 1867 perusahaan perkebunan asing mendapatkan kon-
sesi tanah luas dan praktis ini mengganggu pola penanaman peladangan
penduduk. Di tambah pula pada periode itu perusahaan-perusahaan
perkebunan berlomba menanam tembakau gulung Deli yang berkualitas
tinggi. Ternyata penanaman tembakau menghabiskan kesuburan tanah.
23 Menurut sensus 1930, jumlah penduduk di Sumatra Timur adalah 1,5 juta orang.
Sementara itu, penanaman untuk kebutuhan pokok di areal pertanian hanya 6 persen,
jauh dari mencukupi kebutuhan penduduk. Sehingga pemerintah harus mengimpor beras
dari negeri-negeri Asia Tenggara. Untuk hal ini lihat. Michael van Langenberg. “Class
and ethnic conflict in Indonesia’s decolonization process. A study of East Sumatra”.
Indonesia. No. 2 (1980).
24 Hampir rata-rata petani berladang membutuhkan tanah luas dan pola ini kemudian
diikuti oleh perusahaan-perusahaan perkebunan. Untuk hal ini lihat. Jan Breman. Men-
jinakkan Sang Koeli. Politik kolonial, tuan kebun dan kuli di Sumatra Timur pada
awal abad ke-20. (Jakarta: Grafiti Press, 1997), hlm. 47.
36