Page 142 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 142
Tidak semua hasil dari sistem bagi tiga itu yang kemudian
diserahkan kepada masyarakat adat, khususnya kepada
pemegang sertifikat. Karena hasil yang telah masuk ke koperasi
lalu dipotong lagi untuk biaya operasional seperti; operasional
tanaman, panen, angkutan hasil panen ke pabrik, dan untuk biaya
asisten beserta krani yang diperbantukan oleh PTPN V terhadap
lahan tersebut. Karenanya, jika melihat formulasi bagi hasil ini,
maka sesungguhnya perusahaan tetap menjadi pemilik utama
terhadap akses sumber daya produksi perkebunan.
Perusahaan dimungkinkan mendapat dua hasil, dari sistem
bagi tiga hasil, sedangkan koperasi hanya mendapat satu. Satu
yang diperoleh koperasi pun dimasukkan melalui rekening
penampungan (escrow account). Proses pencairan uang yang ada
di rekening penampungan harus sepengetahuan PTPN V, lewat
Manajer Kebun. Artinya, kendali atas akses sumber daya ulayat
masyarakat adat di Kenegerian Senama Nenek pasca reforma
agraria masih berada di tangan perusahaan. Perusahaan masih
berhak mengatur, menunjuk, dan mengelola segala kepentingan
terkait akses dan kepemilikan lahan seluas 2.800 hektar–yang
pernah menjadi objek konflik dengan masyarakat adat.
Perusahaan dimungkinkan menerima hasil lebih dibanding
pemilik lahan–dalam hal Masyarakat Adat Kenegerian Senama
Nenek. Lebih jauh, kuasa perusahaan cenderung lebih dominan
dan menguntungkan dibanding sebelum reforma agraria.
Karena sepaket agenda reforma agraria, termasuk MoU yang
mendahuluinya, memberikan perlindungan hukum dan legitimasi
kepada perusahaan untuk menguasai sumber daya dan hasil
produksi lahan tanpa khawatir adanya gangguan atau perlawanan
dari masyarakat adat. Sebab masyarakat adat, setidaknya untuk
Reforma Agraria atas Tanah Ulayat 107