Page 102 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 102

Paku Alaman: Sebuah Pentradisian

               tidak memberi keberlanjutan dari pelajaran yang diberikan.
               Sehingga yang didapat anak didik adalah tidak adanya kesi-
               nambungan antara pengetahuan yang telah dipelajari dengan
               tingkatan pengetahuan selanjutnya. 91
                   Lalu 3 Juli 1922 didirikanlah Perguruan Nasional Taman
               Siswa dengan asas utamanya kemerdekaan diri dengan dasar
               nasional.  Perguruan Taman Siswa ini mengalami tentangan
                       92
               bukan hanya dari pemerintah Belanda akan tetapi dari bangsa-
               nya sendiri. Mereka segan menyekolahkan putra-putrinya di
               sekolah yang dianggap belum mampu menyamai kualitas
               pendidikan Belanda.
                   Kurikulum terus diperbaiki, sehingga sekolah ini muncul
               sebagai alternatif bagi pilihan lembaga pendidikan. Keung-
               gulannya adalah menanamkan budaya dan rasa keiindone-
               siaan yang lebih menjiwai kehidupan pribumi. Taman Siswa
               pun tak mengenal penggolongan berdasarkan ras maupun
               kelas, siapa saja yang mendaftar menjadi murid diterima
               dengan tangan terbuka. Bukti bahwa tidak ada pembedaan
               salah satunya ditunjukkan oleh Soewardi dengan berganti
               nama menjadi Ki Hajar Dewantara pada 1928.  Ia menang-
                                                         93
               galkan gelar kebangsawanannya yang dianggap menghambat
               kedekatannya dengan wong cilik.




               91  Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Bandung: Jemmers, 1983), hlm.1.
               92  Mochammad Tauchid, op. cit., hlm.19.
               93  Dalam adat dan tradisi  Jawa sudah seharusnya orang yang telah mengalami
                tahapan tertentu dalam hidupnya, misalnya perubahan orientasi hidup
                yang semula ksatria berubah menjadi pandita disertai dengan pertambahan
                usia berhak mengganti namanya dengan nama ‘tua’. Lihat Sartono
                Kartodirdjo dkk, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gadjah
                Mada University Press, 1987).

                                                                   79
   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106   107