Page 111 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 111
Keistimewan Yogyakarta
ran Soeriosoeparto yang kelak menjadi Mangkunegoro VII.
Keduanya saling memberikan pengaruh, misalnya Soeriosoe-
parto mengajarkan tentang Teosofi kepada Notosuroto,
120
sebaliknya Notosuroto mengajak Soeriosoeparto untuk aktif
dan terlibat dalam Perhimpunan Indonesia. Perkenalan Noto-
suroto dengan teosofi membuatnya semakin dalam berkutat
dengan dunia intelektual priyayi Jawa. Ia mulai mengekspre-
sikan gejolak dirinya lewat puisi dan karya sastra. Minatnya
dalam sastra dan senilah yang membuatnya berkenalan
dengan banyak penulis dan penyair Eropa yang tertarik pada
dunia Timur.
Notosuroto menuangkan buah pikirannya dalam buku
berjudul De Eendracht van Indie en Nederland (Persatuan
Hindia Belanda dan Belanda) pada 1913. Buku ini merupakan
pandangannya mengenai kerja sama antar rakyat Hindia Be-
landa–Belanda. Setahun kemudian, saat Perang Dunia I meletus
di Eropa, ia memutuskan untuk bergabung dengan militer. Ia
tergabung dalam tentara cadangan pada pasukan kavaleri.
Pada tahun 1915 disela perang, terbitlah karyanya yang kedua
Melati Knoppen (Kuncup-Kuncup Melati). Karyanya ini
mendapat pujian dari banyak orang Belanda. Sajak-sajaknya
120 Teosofi adalah pandangan bagaimana seorang dalam menghadapi hidup
dengan laku prihatin dan tenang. Teosofi adalah ajaran universal, merupakan
paham yang sangat populer di kalangan priyayi Jawa pada akhir abad ke-19
hingga pertengahan awal abad ke-20. Ada yang berpendapat bahwa teosofi
adalah guru dari kejawen, paham yang dianut oleh banyak priyayi Jawa.
Beberapa tokoh teosofi adalah pemikir serta orang yang membidani lahirnya
nasionalisme, contoh Soewardi Soerjaningrat, Wahidin Soedirohusodo,
Suryomataram (Guru Soewardi Soerjaningrat dalam Perkumpulan Sloso
Kliwonan). Oleh karena itu muncul pendapat bahwa nasionalisme Indonesia
lahir dari gerakan sufi dan kebatinan. Lihat Sartono Kartodirdjo, op.cit.
88