Page 309 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 309

Keistimewan Yogyakarta
            pangeran merdiko. Sultan dengan tegas enggan memenuhi ulti-
            matum.
                Sebuah versi mengemukakan mulai 18 Juni 1812 istana
            mulai dihujani meriam. Setelah mengepung tiga hari dan menga-
            dakan serangan kilat pada hari terakhir istana dapat ditaklukkan
            pada 20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai 20 Juni 1812
            keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya
            dapat dikuasai Inggris. Pada tanggal itu pula Sultan Sepuh untuk
            kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi Hamengku Buwono
            III ditahtakan sebagai Sultan Yogyakarta.
                Pada 29 Juni 1812 Notokusumo diangkat oleh Pemerintah
            Kerajaan Inggris menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam.
            Pengangkatan ini berdasarkan jasa-jasanya terhadap Pemerin-
            tah Inggris. Melalui Perjanjian Politik 17 Maret 1813 (sering dise-
            but dengan Politiek Contract) Notokusumo secara resmi diangkat
            sebagai Pangeran Merdiko di bawah Pemerintah Inggris dengan
            gelar Pangeran Adipati Paku Alam. Kepadanya diberikan tanah
            dan tunjangan, tentara kavaleri, hak memungut pajak, dan hak
            tahta yang turun temurun. Semua ini diperoleh dengan imbalan
            kesetiaan kepada Pemerintah Inggris. Daerah kekuasaan Paku
            Alam meliputi sebuah kemantren di Kota Yogyakarta (sekarang
            kecamatan Paku Alaman) dan Daerah Karang Kemuning (Adi-
            karto) di bagian selatan Kabupaten Kulon Progo.
                Pekerjaan sebagai penguasa baru telah menunggu. Di sam-
            ping mengurusi daerahnya sendiri Paku Alam I juga diangkat
            Raffles menjadi wali Hamengku Buwono IV antara 1814—1820.
            Tugas perwalian ini sangat terbatas karena harus berbagi dengan
            GK Ratu Ageng dan GK Ratu Kencono, nenek dan bunda Sultan,
            serta Patih Kesultanan. Semasa Hamengku Buwono V (ditahtakan
            ketika berusia balita), Paku Alam tidak lagi diikutkan pada perwa-
            lian. Pada 7 Maret 1822 secara resmi oleh Pemerintah Hindia
            Belanda diberi gelar Pangeran Adipati. Selanjutnya gelar ini
            hanya digunakan untuk para penguasa Kadipaten yang telah
            berusia lebih dari 40 tahun. Dalam Perang Jawa 1825—1830
            Paku Alam bersifat pasif. Menurut versi Sejarawan Paku Alaman,
            R.M. Tamdaru Tjakrawerdaya semasa perang Jawa, Pasukan

            286
   304   305   306   307   308   309   310   311   312   313   314