Page 52 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 52

Pendahuluan

               dari longgarnya ikatan ke-Indonesia-an tetapi senantiasa
               menjadi indikasi menguatnya kelokalan di tengah kegamangan
               mencari bentuk dan proses perajutan identitas yang belum
               selesai itu. Krisis ekonomi dan politik dalam rentang sejarah
               bangsa ini seringkali menjadi pemicu bagi entitas politik
               tertentu untuk kembali merekatkan identitas kedaerahanya.
                   Diskursus tentang kearifan lokal yang marak sepuluh
               tahun terakhir ini disadari atau tidak ikut memberi andil pada
               menguatnya kelokalan. Wacana yang menguat di penghujung
               kekuasaan otoriter Orde Baru itu menjadi alternatif atas
               pengaturan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat
               terpusat pada tiga dasawarsa sebelumnya.
                   Frustasi sosial ekonomi masyarakat, berkembangnya
               politisi pemburu rente, situasi global yang timpang dan hege-
               monik, rezim elektoral yang lemah, adalah sederet penyubur
                                           16
               mewabahnya gerakan me-lokal.  Lokalitas yang digerus roda
               negara otoriter-sentralistis (bukan selalu oleh globalisasi)
               memperoleh ruang lebar untuk menentukan dirinya sendiri.
               Penghargaan pada lokalitas dan identitasnya menjadi kecen-
               derungan umum baik bagi kalangan aktivis, intelektual,
               akademisi, dan pengambil kebijakan.
                   Momen ini menjadi kesempatan bagi daerah untuk mem-
               buat garis batas yang lebih tegas daripada di masa Orde Baru
               antara dirinya dengan entitas politik di luarnya (pusat). Banyak
               aspek yang dijadikan sebagai landasan untuk mengajukan diri
               sebagai entitas politik yang harus mandiri/dihargai; pemba-



               16  Somantri, Gumilar Rusliwa, “Membaca Sen Membaca Realitas Kita” dalam
                Sen, Amartya Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Serpong: Marjin Kiri,
                2007), hlm. ix.

                                                                   29
   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57