Page 75 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 75

Keistimewan Yogyakarta
            kinkan karena terdapat dua wajah pemerintahan di Yogya-
            karta, pemerintah tradisional, dengan Sultan sebagai pemegang
            tampuk kekuasaan, dan pemerintah kolonial yang diwakili oleh
            Residen sebagai penyelenggara pemerintahan. Keduanya
            saling berhubungan dalam melaksanakan pemerintahan
                Daerah Kesultanan Yogyakarta terbentuk setelah kesepa-
            katan dalam perjanjian Giyanti dilaksanakan. Kerajaan Mata-
            ram dibagi menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
            Yogyakarta. Cikal bakal wilayah Kesultanan Yogyakarta ada-
            lah kawasan yang bernama hutan Bringan, terletak di Padu-
                             31
            kuhan Pacethokan.  Tahun 1756 HB I, mendirikan keratonnya,
            yang ditandai dengan sengkalan ’Dwi Naga Rasa Tunggal’
            yang berarti tahun 1682  dalam sistem penanggalan Jawa.
                Kestabilan negara baru ini tidak berlangsung lama, Tatkala
            Sultan HB II bertahta, kembali lagi terjadi konflik. Kali ini saling
            berhadapan adalah Sultan HB II dengan putra Mahkota yang
            kemudian menjadi HB III, sekaligus juga dengan patih Danu-
            rejo. Pangkal permasalahan adalah perebutan tahta, saling
            curiga, dan intervensi pemerintah kolonial. Ketika Sultan HB
            II berkuasa, terjadi perpindahan kekuasaan dari Belanda ke
            Perancis, kemudian kepada Inggris. Intrik-intrik dalam Kera-
            ton tak lepas dari pengaruh besar para penguasa rezim yang
            silih berganti, sehingga selalu ada kontrak-kontrak baru yang
            membuat kerajaan selalu harus menyesuaikan diri. Kondisi
            ini memicu beberapa kelompok untuk saling bersekutu dan
            mencari kawan terkuat untuk mendapatkan keinginannya.
                Hindia Belanda beralih ke tangan Perancis, Daendels men-




            31  Op.cit., hlm. 19–20.

            52
   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79   80