Page 85 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 85
Keistimewan Yogyakarta
suroto adalah seorang nasionalis sekaligus penganut teosofis
yang tak alergi berkompromi dengan pemerintah. Soerjapra-
noto mewakili golongan nasionalis-agamis garis keras, tak ada
kerjasama dengan Belanda, nasib dan arah bangsa ini diten-
tukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Perlawanan sengit
melalui aksi-aksi demonstratif adalah pilihannya. Ketiga
adalah Ki Hadjar Dewantara mewakili kelompok nasionalis-
sekuler yang juga non-kooperatif dengan pemerintah.
Ketiganya berbeda, namun perbedaan ideologi ini tak
pernah menyebabkan mereka saling berseteru. Jika akhirnya
terjadi juga perseteruan maka itu dilakukan melalui perang
opini dalam media massa. Kala itu nampaklah semua memiliki
tujuan satu demi kemerdekaan Indonesia. Pada masa per-
gerakan dan semangat persamaan hak kian memanas, Yogya-
karta mengambil posisi sebagai satu poros daerah pergerakan.
Yogyakarta–khususnya kota–tak pernah sepi dari pelaksana-
an kegiatan pertemuan organisasi dan partai. Mulai dari
kongres, rapat, kursus politik, propaganda, pertemuan pengu-
rus besar dan cabang, rapat cabang dan sebagainya. 47
Yogyakarta pada masa pergerakan muncul sebagai
daerah yang toleran terhadap berbagai macam ideologi. Yog-
yakarta menerima dengan ramah beragam aliran dan orga-
nisasi. Mulai dari kelompok kesukuan, keagamaan, politik,
budaya, sosial, budaya, hingga komunis baik radikal maupun
tidak, kooperasi dan non-kooperasi semua tumplek-blek
mewarnai wajah Yogyakarta. Maka tak heran jika Yogyakarta
selalu dikenal sebagai miniatur Indonesia. Ini bukan sekadar
47 Abdurrachman Soerjomihardjo, op.cit., hlm. 136––138.
62