Page 109 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 109
70 Orang Indonesia dan Tanahnya
desa’s) tidaklah merupakan domein negeri. Sebuah keputusan
landraad di Bandung pada tahun 1904 mengemukakan sebuah
“ajaran” yang berharga, bahwa oleh karena pemerintah adalah
pemilik (eigenaar) dari semua tanah pertanian, maka hanya
pemerintahlah yang berhak mewaka an sebidang tanah
(misalnya untuk mendirikan sebuah mesjid). Mahkamah Agung
(Hooggerechtrechtshof) sendiri pada tahun 1895 telah menunjuk
pada sebuah putusan (arrest) yang menentukan bahwa hak
domein negeri itu secara bergantian menandakan sifat-sifat
sebagai hak publik dan hak pribadi.
Menurut Inlandsche Gemeente Ordonnantie (Ordonansi
tentang Masyarakat Hukum Pribumi) untuk Jawa (1906)
dan Ambon (1914), maka “melepaskan sebidang tanah desa”
(abandonnering van gemeentegrond) tidaklah memerlukan surat
kuasa dari pemerintah terlebih dahulu, oleh karena didalam
suatu teori domein, turut campurnya pemerintah dianggap tidak
lagi pada tempatnya (karena merupakan suatu penyerahan hak
kepada pemilik domein sendiri). Namun Inlandsche Gemeente
Ordonnantie untuk daerah Sumatera Barat telah menghapuskan
pula keharusan memohon surat kuasa tersebut, meskipun
pernyataan domein atas tanah-tanah pertanian di daerah ini
(termasuk juga campur tangan pemerintah dalam urusan
tersebut di atas) adalah merupakan sesuatu yang belum pasti.
Juga meskipun banyak sekali ketidakpastian, namun peraturan
mengenai kreditverband (ikatan kredit) dari tahun 1908 yang
berlaku di daerah-daerah yang mengenal milik keluarga atas
tanah (misalnya di Sumatera Barat dan Manado), dengan cara
yang sewenang-wenang menyatakan: “Bahwa hak-hak pakai
yang zakelijk (bersifat kebendaan) dan tak dapat dibagi dari
keluarga-keluarga pribumi tersebut, adalah terletak di atas
tanah-tanah yang termasuk domein Negara (Staatsdomein).”
Demikian pula bunyi pasal 424 dan 425 dari Strafwetboek