Page 164 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 164
C. Van Vollenhoven 125
lombok), tidak pula dapat dipersamakan dengan “hak
mempergunakan” Zakelijk itu (een zakelijk recht van gebruik),
atau pun dengan kontrak sipil lainnya? Bukankah semua ini
hanya mengandung sedikit sifat privaatrecht, seperti juga dalam
verpachten middelenen negara, verpachten tanah-tanah apanage,
verpachten atau verhuren tanah-tanah desa dan sebagainya?
Semua itu sesungguhnya bertepatan dengan apa yang telah
kita pelajari di daerah-daerah lain, baik dalam teori maupun
praktek. Maka menurut hemat kami, mendasarkan suatu
“pemberian tanah” diatas basis eigendom atau oppereigendom
(eigendom tinggi, dimana pemerintah bertindak sebagai
eigenaar), adalah suatu pendapat yang sudah usang atau
suatu teori yang sudah kuno. Ia hanya sesuai bila berlaku pada
zaman abad tengah atau pada permulaan sejarah baru, tetapi
sama sekali tidak tepat untuk masa kita sekarang. Seharusnya
pemerintah mendudukan posisinya bukanlah sebagai pemilik
tanah akan tetapi sebagai penguasa (heerscher), sebagai
pembentuk undang-undang (wetgever), maka pemerintah
membuat peraturan-peraturan yang mengikat untuk mengatur
pertanian dan pertambangan, baik di negeri Belanda maupun di
Indonesia. Jadi bukan tanahlah yang dijadikan benda pengaturan
(voorwerp van regeling), akan tetapi orang-orang yang tunduk
kepada kekuasaan pemerintah, dan yang berurusan dengan
tanah itu yang diatur. Dalam perkataan lain, jika masyarakat
hendak menguasai tanah-tanah itu ataupun hasil-hasilnya
guna kepentingan umum, maka hendaknya ia memperlakukan
peraturan penguasa yang umum (algemene gezagsordening)
kepada orang-orang yang berkepentingan, dan tidaklah perlu
mempergunakan anggapan bahwa ia mempunyai hak subjektif
atas tanah-tanah tersebut.
Hendaknya diketahui pula, bahwa dari kurang lebih tiga
ratus buah daerah-daerah swapraja di Indonesia, hanya beberapa