Page 166 - Orang Indonesia dan Tanahnya
P. 166
C. Van Vollenhoven 127
maka untuk menguatkan tindakan pemerintah dalam
mengeluarkan dekrit-dekrit mengenai tanah-tanah yang tidak
dibudidayakan, suatu tindakan yang merupakan pelaksanaan
dari “azas yang umum dari hukum tata negara” atau suatu
pelaksanaan daripada “hak pemerintah yang berakar dalam
hukum tata-negara,” pembentuk undang-undang Hindia
Belanda tidaklah memilih “bentuk yang teoritis paling murni,”
yaitu peraturan-peraturan yang “murni bersifat hukum publik,”
akan tetapi “secara bersahaja, di dalam kekuasaanya yang penuh
itu, pembentuk undang-undang tersebut.......telah menempuh
jalan lain, yaitu mempergunakan bentuk-bentuk yang bersifat
hukum privat yang biasa dipergunakan dalam perhubungan
hukum antara warga-negara dengan warga-negara.”
Secara bersahaja! maka orang harus meninggalkan
kehidupan ambtenaar (pegawai kolonial) yang rumit itu
sebagai pembayaran atas diputarnya hak untuk memerintah
(yang tidak dapat disangkal ataupun diperdebatkan) menjadi
suatu hak-eigendom yang kacau serta berpengertian ganda
(dubbelzinnig). Jelaslah, bahwa domein verklaring tersebut
sanggup mengacaukan kepala seseorang yang mempunyai otak
paling jernih sekalipun!
Bagi para pegawai pemerintah, keadaan ini merupakan
suatu fakta yang sudah sangat dikenal. Perlu diketahui, bahwa
bertambah jelasnya hak-hak penduduk atas tanah yang telah
ditetapkan sebelumnya, adalah merupakan sesuatu yang
sangat berharga; akan tetapi segera setelah mereka berhadapan
dengan pernyataan domein, maka otak dari mereka yang
paling pandai sekalipun akan menjadi kacau. Akan bekerjakah
mereka dengan anggapan seperti ini, yang memandang “hak
ulayat” Indonesia sebagai suatu delegasi daripada hak domein
negara? Para para birokrat mengatakan bahwa pernyataan-
pernyataan domein untuk Sumatra (1874) dan Manado (1877)