Page 143 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 143
130 Aristiono Nugroho, dkk.
Desa Karanganyar, maka deviasi bermakna perilaku para pihak
yang melampaui batas-batas toleransi penerapan landreform
lokal. Sebagai contoh, bila ada buruh kulian yang tidak mampu
menjadikan garapannya sebagai tanah yang memiliki produk-
tivitas tinggi, rusak kesuburan tanahnya, atau tidak melaksa-
nakan kewajibannya (kerja bakti dan ronda malam); maka buruh
kulian ini dapatlah dikatakan telah melakukan deviasi.
Bagi para pihak yang terlibat dalam penerapan landreform
lokal, deviasi merupakan perbuatan tercela, sehingga para pihak
berupaya menghindarinya. Kulian berupaya untuk tidak menarik
kembali hak garap yang telah diserahkannya kepada Pemerintah
Desa Karanganyar, sedangkan buruh kulian berupaya untuk
tidak mengabaikan kewajibannya. Sementara itu, Pemerintah
Desa Karanganyar juga berupaya untuk tidak mengkhianati
penerapan landreform lokal. Sebagaimana diketahui deviasi akan
terjadi, bila para pihak tidak lagi mengutamakan kepentingan
bersama, yaitu pengelolaan pertanahan yang adil, sejahtera,
dan harmoni di Desa Karanganyar. Bila ini terjadi, maka inter-
koneksi para pihak akan berlangsung tanpa kaidah atau norma
yang disepakati. Interkoneksi tanpa kaidah atau norma semacam
inilah, yang oleh Emile Durkheim disebut sebagai “anomi”.
Meskipun tidak terjadi di Desa Karanganyar, tetapi telah
menjadi pengetahuan umum, bahwa terjadinya deviasi meru-
pakan pertanda bagi perlunya dilakukan perubahan struktur
sosial. Perubahan dilakukan, karena struktur sosial yang ada
dipandang tidak mampu lagi menopang dinamika sosial yang
terjadi, dan tidak mampu lagi memenuhi perkembangan kebu-
tuhan sosial. Selain memiliki penyimpangan (deviance) dan
penyimpang (deviant), sesungguhnya deviasi (deviation) juga
berpeluang memiliki institusi menyimpang (deviant institution).