Page 195 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 195
182 Aristiono Nugroho, dkk.
bagi masyarakatnya. Hal ini memberi kesempatan pada buruh
tani untuk membangun usaha tani yang lebih baik dari sebelum-
nya. Dalam kerangka seperti inilah terbuka kesempatan bagi
elit desa untuk berkomunikasi dengan buruh kulian, yang ber-
tujuan membantu buruh kulian menjadi petani dengan produk-
tivitas tinggi. Berdasarkan Teori Aksi, maka aktivitas elit desa
dapat dipandang sebagai pemikiran, sikap, tindakan, dan perila-
ku yang aktif dan kreatif. Boleh jadi pada awalnya ide landreform
lokal muncul sebagai dampak tuntutan keadilan dari masya-
rakat, tetapi oleh karena direspon dengan baik maka akhirnya
membuahkan hasil nyata, dan mendapat simpati masyarakat.
Ide menyejahterakan rakyat yang digagas elit desa, pada
akhirnya “mengetuk” ruang kesadaran subyektif para pihak di
Desa Karanganyar. Kulian “terketuk” kesadaran subyektifnya,
karena ingin dapat diterima sebagai bagian masyarakat yang
berkontribusi optimal dalam membantu meningkatkan ekonomi
buruh kulian. Buruh kulian “terketuk” kesadaran subyektifnya,
karena terbuka kesempatan mengakses tanah sawah seraya
berkontribusi bagi masyarakat melalui kerja bakti dan ronda
malam. Elit desa “terketuk” kesadaran subyektifnya, karena
dapat berkontribusi optimal dalam melayani masyarakat seraya
memanfaatkan tanah buruhan yang ada. Secara umum
Masyarakat Desa Karanganyar “terketuk” kesadaran subyektif-
nya, karena muncul harmoni sosial saat penguasaan tanah telah
ditata lebih adil dan menyejahterakan.
Elit desa tergerak untuk menerapkan landreform lokal di
Desa Karanganyar, karena ada sentimen keadilan yang merebak
di era 1947-an. Sentimen ini merebak setelah Soemotirto men-
canangkan landreform lokal di Desa Ngandagan, sehingga sebagai
desa yang berbatasan langsung dengan Desa Ngandagan maka