Page 99 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 99
86 Aristiono Nugroho, dkk.
Ngandagan, sebelum dicanangkannya landreform lokal oleh
Soemotirto. Pada masa itu petani mulai menanam padi dan
sayur, dari sebelumnya hanya menanam tanaman-tanaman
pekarangan. Oleh karena itu, Pemerintah Desa Karangnyar
mengalami kesulitan, ketika mencari orang yang bersedia mene-
rima tanah sawah garapan. Tetapi hal ini justru menguntungkan
petani penerima tanah sawah garapan, karena mereka tidak
menerima tanah sawah garapan seluas 45 ubin, sebagaimana
petani yang tidak memiliki tanah sawah di Desa Ngandagan,
melainkan menerima tanah sawah garapan seluas 90 ubin.
Ketentuan bagi tanah sawah garapan pada masa itu (tahun
1947), adalah sebagai berikut: Setiap pemilik tanah wajib
menyerahkan tanah buruhan sesuai dengan luas tanah yang
dimiliki, dengan ketentuan 90 ubin tanah buruhan untuk setiap
250 ubin tanah yang dimiliki. Contoh: (1) Bila memiliki tanah
seluas 250 ubin maka harus menyerahkan tanah buruhan seluas
90 ubin. (2) Bila memiliki tanah seluas 125 ubin maka harus
menyerahkan tanah buruhan seluas 45 ubin. (3) Bila memiliki
tanah seluas 62 ubin maka harus menyerahkan tanah buruhan
seluas 22 ubin. (4) dan seterusnya.
Selain melakukan terobosan berupa penerapan landreform
lokal ala Desa Ngandagan yang dimodifikasi, R. Sosro Wardjojo
juga menata ulang tanah bengkok bagi kepala desa dan perangkat
desa. R. Sosro Wardjojo menetapkan, bahwa bengkok kepala
desa harus dikurangi dari 20 iring menjadi 12 iring, karena yang
8 iring diperlukan untuk menambah bengkok bagi perangkat
desa. Terobosan R. Sosro Wardjojo mendapat apresiasi masya-
rakat Desa Karanganyar, dengan mensejajarkan kualitas kepe-
mimpinannya dengan kualitas kepemimpinan Soemotirto
(Kepala Desa Ngandagan, tahun 1947 – 1964). Bahkan sebagian