Page 161 - Konstitusionalisme Agraria
P. 161

memenuhi hak-hak warga negara. Tidak pula meletakan hubungan
            masyarakat dengan negara dalam konstruksi negara kelas. Soepomo
            berbicara tentang rangsangan dasar di kalangan orang Indonesia dan
            dalam kebudayaan Indonesia ke arah “kesatuan hidup” baik dalam
            spiritual maupun jasmaniah. Dalam konsepsi negara integralistik
            yang diutamakan adalah kesatuan atau harmoni antara rakyat dan
            penguasa, antara kawula dan gusti, antara mikrokosmos dengan
            makrokosmos (Bouchier, 2007:121). Harmoni ini sejalan dengan tujuan
            dari rezim Orde Baru yang menghendaki adanya stabilitas politik dan
            ekonomi untuk menjalankan rencana-rencana pembangunan.
                 Secara konseptual memang tidak ada salah dengan konsepi
            negara integralistik. Pada beberapa negara konsepsi ini tumbuh
            dan memandu suatu bangsa menjadi bangsa yang berkarakter
            dan bisa maju di tengah percaturan politik dan ekonomi dunia.
            Jepang adalah salah satu contoh yang sering dirujuk oleh para
            promotor negara integralistik. Di Jepang, yang lebih diutamakan
            adalah tanggungjawab penguasa, bukan penuntutan hak dari
            warga negaranya. Konsepsi negara integralistik mengandaikan
            negara sebagai pribadi yang budiman yang akan mengayomi warga
            negaranya dengan kasih sayang.

                 Tetapi dalam masa pemerintahan Soeharto faktanya tidaklah
            begitu. Konsepsi harmoni, integralistik dan sekalian lembaganya
            yang dianggap sejalan dengan tradisi bangsa, khususnya tradisi
            Jawa telah semakin memperkuat legitimasi kekuasaan Soeharto.
            Soeharto kemudian memegang dua sumber legitimasi sekaligus,
            yaitu legitimasi birokratis lewat Golkar dan legitimasi tradisional
            lewat konsepsi negara yang dianggap cocok dengan kepribadian
            bangsa. William R. Liddle menyebutkan bahwa kepemimpinan
            Soeharto memanfaatkan dua legitimasi sekaligus, yaitu legitimasi
            kerja dan legitimasi simbolis. Legitimasi pertama diperoleh
            karena keberhasilan ekonomi, sementara itu legitimasi kedua
            diperoleh karena tindakan yang diambil sejalan dengan tradisi
            dan budaya masyarakat (Mallarangeng, 2008:104). Adnan Buyung
            Nasution yang merupakan salah satu pengkritik utama Orde Baru
            menyampaikan bahwa Konsepsi Negara Integralistik dimanipulasi


               130     Konstitusionalisme Agraria
   156   157   158   159   160   161   162   163   164   165   166