Page 125 - Konflik Agraria Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik
P. 125
harinya, 24 Maret 2011. Dan benar, keesokan harinya, Bupati dan
jajarannya serta Ketua DPRD dan perwakilan BPN Kebumen
datang ke Kecamatan Buluspesantren untuk memenuhi janjinya
melihat pal batas tanah negara. Namun, kedatangan Bupati
didahului dengan kedatangan ratusan tentara yang didatangkan
dari Semarang, Magelang, Solo, dan Bandung. Para petani
menyambutnya dengan membawa bambu runcing, sabit, dan
alat-alat lainnya. Tidak ada kekerasan isik yang terjadi saat itu,
tetapi masyarakat menyebut kedatangan ratusan tentara tersebut
sebagai pendudukan tentara di Urutsewu.
Sementara masyarakat Kecamatan Ambal dan Desa
Setrojenar berunjuk rasa menuntut wilayah Urutsewu dijadikan
sebagai wilayah pertanian dan pariwisata, warga kecamatan Mirit
mempersiapkan pernyataan penolakan penambangan pasir besi
bermaterai. Tindakan tersebut dikoordinasikan oleh FMMS.
Tanggung jawab pengumpulan surat pernyataan dilimpahkan ke
koordinator tiap desa, seperti pengakuan Manijo:
“Koordinator Kecamatan dipanggil dari pihak Bupati untuk
membuat pernyataan yang dilengkapi materai. Itu katanya untuk
penolakan. Ya, saya terus jalanin supaya bagaimana sebetulnya
dari masyarakat. Begitu adanya, 99% menolak. Memang ada
tiga orang warga asli Mirit Petikusan yang menolak tanda tangan.
Saya tidak mau mengatakan siapa orangnya karena takutnya jadi
itnah. Alasanya tidak ikut sana dan tidak ikut sini, netral. Saya
tidak memaksa warga untuk tanda tangan.
Menurut pengakuan Manijo, ada satu warga Desa Mirit
Petikusan yang menyetujui penambangan pasir besi dan
membujuk warga lain untuk menyetujui penambangan.
“Dia membujuk warga untuk setuju dengan penambangan.
Dia adalah orang partai, yaitu dari PAN. Tetapi tidak ada yang
terpengaruh atas bujukan orang itu. Dia juga dekat dengan Bupati
100 Konflik Agraria di Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik