Page 157 - Konflik Agraria Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik
P. 157
Walaupun pemerintah kabupaten telah mengeluarkan
IUP Operasi Produksi kepada PT MNC, proses eksploitasi
pasir besi di Kecamatan Mirit belum dilakukan karena muncul
penolakan dari masyarakat Mirit dan desa-desa lain di Urutsewu.
Penolakan ini berakar dari kekhawatiran penduduk Kecamatan
Mirit pada khususnya dan Urutsewu pada umumnya akan
adanya implikasi dan risiko lingkungan dari proses eksploitasi.
Penduduk telah melihat dampak penambangan yang terjadi di
wilayah lain, seperti di Pantai Ketawang, Kabupaten Purworejo,
dan di Kabupaten Cilacap. Penduduk juga telah mendengar dan
membaca berita kerusakan lingkungan di Kabupaten Tasikmalaya
dan Blitar akibat penambangan pasir besi.
Selain adanya implikasi dan risiko lingkungan, eksploitasi
juga menyebabkan konlik kepemilikan lahan pertanian. Sebelum
izin eksplorasi dan )UP Operasi Produksi dikeluarkan, konlik
kepemilikan lahan telah terjadi di wilayah Urutsewu. Konlik
terjadi antara masyarakat dan institusi TNI AD yang mulai
memanas pada tahun . Subtansi konlik bukanlah pada
latihan uji coba senjata, melainkan pada permasalahan klaim
kepemilikan lahan tersebut oleh TNI AD.
Klaim TNI AD tidak berdasar karena tidak memiliki bukti
kepemilikan tanah seperti sertifikat. Klaim TNI AD hanya
berdasarkan pada keterangan sejarah bahwa tanah di Urutsewu
telah digunakan sebagai benteng pertahanan oleh tentara Belanda
dan Jepang. Atas dasar ini, TNI AD merasa berhak menggunakan
area tersebut setelah Indonesia merebut kemerdekaan dari
Belanda. Selain itu, klaim TNI dilakukan berdasarkan pengakuan
instansi yang berwenang, di antaranya: Gubernur Jawa Tengah
lewat Surat Gubernur Jawa Tengah Nomor 592.2/20317 tanggal
Oktober ; Bupati Kebumen lewat surat Bupati Kepala
Daerah Tk.)) Kebumen Nomor / tanggal Juli ;
132 Konflik Agraria di Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik