Page 162 - Konflik Agraria Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik
P. 162
Hal ini juga disadari oleh masyarakat Urutsewu. Kalaupun
perusahaan menjanjikan adanya reklamasi, masyarakat tidak
percaya bahwa reklamasi mampu mengembalikan tanah mereka
seperti semula. Uang kerohiman yang akan diberikan tidak akan
mampu dinikmati oleh anak cucu mereka (wawancara Suratno).
Masyarakat lebih memikirkan keberlanjutan lingkungan untuk
generasi mendatang. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh
Durning (1995: 436):
“Setiap masyarakat yang mengetahui dengan tepat di mana anak
cucu mereka akan tinggal, cenderung memiliki pandangan yang
lebih jauh daripada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai
keterikatan dengan tempat-tempat di situ.
Masyarakat Urutsewu memiliki pandangan lebih jauh
mengenai lingkungan sehingga lahan pertanian yang lebih ramah
lingkungan menjadi pilihan ketimbang pengelolaan mineral
yang relatif merusak lingkungan. Masyarakat Urutsewu banyak
belajar mengenai penambangan pasir besi dari wilayah lain seperti
penambangan di Pantai Ketawang, Kabupaten Purworejo, dan di
Kabupaten Cilacap. Masyarakat mengetahui secara langsung sisa
kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir besi di Pantai
Ketawang. Kekhawatiran ini pula yang dirasakan oleh masyarakat
Urutsewu ketika penambangan pasir besi akan dilakukan.
FMMS menghadapi ancaman adanya dampak penambangan
pasir besi dari segi lingkungan, ekonomi, maupun sosial. Dalam
menyatakan penolakannya, FMMS lebih kooperatif dengan
pemerintah kabupaten. Ini dapat dilihat ketika FMMS lebih
menuruti saran Bupati untuk membuat surat penolakan
bermaterai dibanding ikut berpartisipasi dalam aksi Pasowanan
Agung pada 23 Maret 2011. Dalam istilah Bryant dan Bailey,
FMMS dapat dimasukkan dalam kategori self-help grassroots
organization karena karakternya sebagai organisasi masyarakat
Analisis Konflik Ekologi Politik 137