Page 164 - Konflik Agraria Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik
P. 164
bathuk sanyari bumi yen perlu ditohi pati yang berarti walaupun
hanya menyentuh kening atau sejengkal tanah, akan dibela
sampai mati’. Penghargaan masyarakat pada tanah terwujud
dalam ritual “larungan yang merupakan wujud syukur mereka.
Persoalan tanah dapat menyebabkan hancurnya kearifan lokal
dan ritual yang terkait dengan tanah (Adhan, 2010: 113).
Masyarakat juga menggantungkan hidup pada hasil
tangkapan laut dan usaha di bidang pariwisata pantai. Bryant
dan Bailey (1997: 16) menyebut grassroots actors yang hidup di
desa berkepentingan untuk mengatur sumber daya lingkungan
bukan karena besarnya rasa menghargai pada lingkungan, tetapi
lebih kepada ketergantungan mereka pada sumber daya alam.
Budaya agraris tidak hanya menyangkut bercocok tanam yang
baik dan memperhatikan keseimbangan daya dukung lahan,
tetapi juga menyangkut penggembalaan ternak. Di Urutsewu,
penggembalaan ternak masuk dalam kultur cah angon yang
sampai sekarang masih dipegang kuat oleh masyarakat Desa
Entak, Kecamatan Ambal. Keterikatan dengan alam yang
sangat kuat mendorong masyarakat bertahan dan melakukan
perlawanan ketika TNI AD mengklaim sebagai pemilik lahan
tersebut dan menggunakannya untuk latihan senjata yang
merusak tanaman pertanian. Keterikatan yang kuat terhadap
lingkungan pula yang mendorong masyarakat Desa Ayam Putih,
Setrojenar, Bercong, Entak, dan Kaibon Petangkuran, melalui
FPPKS, ikut menolak penambangan pasir besi.
Dalam terma Bryant dan Bailey (1997), FPPKS dapat
dimasukkan dalam kategori protest grassroots organization.
Gerakan FPPKS secara politik menunjukkan bahwa tindakan aktor
yang berkuasa merugikan grassroots actors. FPPKS menganggap
bahwa pengakuan TNI AD atas lahan di sepanjang Urutsewu
telah merugikan masyarakat karena wargalah pemilik lahan
Analisis Konflik Ekologi Politik 139