Page 163 - Konflik Agraria Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik
P. 163
yang cenderung menghindari konfrontasi dengan aktor yang
berkuasa, seperti pemerintah kabupaten dan perusahaan.
Grassroots organization yang juga menolak penambangan
pasir besi adalah FPPKS. Fokus perjuangan organisasi ini adalah
menjadikan kawasan Urutsewu sebagai kawasan pertanian
dan pariwisata. Hal ini juga terkait erat dengan penyelesaian
permasalahan tanah di Urutsewu antara masyarakat dan TNI AD.
FPPKS menginginkan kawasan Urutsewu bebas dari latihan TNI
AD dan penambangan pasir besi.
Sebelum adanya penambangan pasir besi di Kecamatan
Mirit, FPPKS yang memiliki basis massa di Desa Ayam Putih,
Setrojenar, Bercong, Entak, dan Kaibon Petangkuran telah
menghadapi permasalahan ekologi. Masyarakat di desa-desa
tersebut memiliki akses yang terbatas dalam pengelolaan sumber
daya alam, walaupun pada hakikatnya merekalah yang dekat
dengan lingkungan. Hal ini senada dengan Bryant dan Bailey
(1997: 158) bahwa grassroots actors menjadi kelompok yang
termarginalkan dalam pengelolaan sumber daya alam karena
sumber daya lingkungan dikontrol oleh aktor yang berkuasa,
yaitu negara dan kelompok bisnis.Kepentingan masyarakat untuk
melakukan kegiatan pertanian berbenturan dengan keberadaan
TNI AD di wilayah Urutsewu. Benturan kepentingan terwujud
dalam permasalahan tanah di sepanjang Urutsewu. Masyarakat
meyakini bahwa tanah selebar 500 meter dari batas air laut ke
darat yang terbentang sepanjang 22,5 kilometer dari Sungai Luk
Ulo di barat hingga Sungai Wawar di timur bukanlah milik TNI AD.
Keterikatan masyarakat di desa-desa tersebut terhadap
lingkungan sangatlah kuat. Masyarakat mengolah tanah di
Urutsewu sehingga menjadi lahan pertanian yang subur dan
menggantungkan hidupnya pada alam. Kultur pertanian
membuat masyarakat memegang teguh falsafah “sadhumuk
138 Konflik Agraria di Urutsewu: Pendekatan Ekologi Politik