Page 100 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 100
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 73
‘penebusan kembali’ (afkopen).
Jadi dasar filosofi bagi perbuatan hukum yang dipakai
pengurus VOC dan pemerintah Belanda sebelum 1829,
dalam penjualan tanah adalah ajaran hukum BW yang
disebut ‘penebusan kembali’ (afkopen) dengan pembayaran
‘uang tebusan’ (afkoopsom) kepada orang-orang yang tidak
tunduk pada hukum perdata Belanda yaitu Nederlands
Burgerlijk Wetboek dan tidak memiliki hak keperdataan atas
tanah sebagai pemilik tanah. Artinya penduduk Bumiputra
yang menguasai dan menduduki tanah milik Negara Belanda,
adalah berstatus hukum sebagai ‘pemegang gadai’ dalam
hubungan gadai (pandhandelingen).
2.2. Orang Bumiputra tidak memiliki hak keperdataan atas
tanah:
Orang Bumiputra dengan demikian tidak pernah diakui
memiliki hak keperdataan atas tanah yang mereka kuasai dan
duduki, sekalipun diakui pemerintah Belanda bahwa mereka
memiliki hak milik adat yang disebut ‘hak milik pribumi’
(Inlandsch bezitsrecht) atas tanahnya. Sebaliknya karena
Negara Belandalah yang menjadi ‘pemilik tanah sebenarnya’
(het origineel eigenaar op de grond), maka orang Bumiputra
harus menyerahkan kembali tanah yang dikuasainya kepada
Negara Belanda, melalui lembaga ‘prijsgegevens’ alias ‘serah
lepas’ kepada pemerintah Belanda. Konsep dengan filosofi
dasar ‘agri limitati’ untuk memperoleh kembali tanah milik
Negara dari pendudukan serta penguasaan orang Bumiputra
itu, kemudian disebut ‘pelepasan hak’ dan ‘pembebasan
tanah’ disertai ‘ganti rugi’ oleh pejabat Negara Republik
Indonesia.
Orang Bumiputra, dahulu hanya berhak atas pembayaran
‘uang tebusan’ (afkoopsom) namun diterjamahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi ‘nilai/uang ganti rugi’. Padahal
dalam hukum perdata Belanda, nilai atau uang ‘ganti rugi’ itu