Page 99 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 99
72 Herman Soesangobeng
masih diperlakukan sama seperti di masa VOC sampai
Hindia Belanda, yaitu diperlakukan sama seperti penduduk
Bumiputra; walaupun, kini sudah menjadi warga Negara
Indonesia. Kesalahan perlakuan itu adalah dalam bentuk
tidak menghargai hak keperdataan Warga Negara Indonesia
(WNI) atas tanah miliknya. Maka perolehan tanah oleh
Pemerintah atau Negara Repbulik Indonesia dari WNI, tidak
dilakukan melalui pembelian tanah melainkan ‘pembebasan
tanah’, yaitu melalui proses pelepasan haknya warga Negara
kepada Negara Republik Indonesia. Proses itu, dimasa VOC
sampai Hindia Belanda, disebut ‘serah lepas’ (prijsgegevens) ,
4
dan kini disebut ‘pembebasan tanah’ dengan ‘pelepasan hak’.
Lembaga perbuatan hukum ‘serah lepas’ (prijsgegevens)
itu hingga kini masih tetap digunakan oleh Pemerintahan
Negara Republik Indonesia. Karena pejabat Negara
Republik Indonesia, tidak menyadari dan tidak mengerti
bahwa lembaga ‘prijsgegevens’ yang digunakan VOC dan
Hindia Belanda, adalah untuk perolehan kembali tanah
milik Negara (landsdomein) dari penduduk Bumiputra
yang tidak berhak memiliki hak ‘eigendom’ pribadi
(individueel eigendom), berdasarkan hukum perdata Belanda
(Nederlands BW). Pada masa penjualan tanah sejak VOC
dan pembebasan tanah pemerintah Belanda Hindia Belanda,
semuanya harus dilakukan dengan dasar hukum perdata
Belanda (Nederlands BW). Konsep dasar hukumnya adalah
berdasarkan ajaran ‘tanah taklukan’ (gekonquesteert grond-Bld.,
agri limitati-Lat.) milik VOC yang diperoleh setelah Bupati
Jacatra yang dianggap sebagai Raja kecil Jawa ‘ditaklukkan’
(gekonquesteerd) pada 1619. Berdasarkan konsep dasar hukum
itu, VOC dan Negara Belanda adalah pemilik tanah tertinggi,
dalam hal ini penduduk Bumiputra tidak berhak memiliki
tanah dengan hak ‘eigendom’, sehingga perolehan tanah dari
penduduk Bumiputra harus dilakukan dengan konsep hukum
4 Gouw Giok Siong, Hukum Agraria Antargolongan, Djakarta:
Penerbit Universitas, 1959, hlmn. 21