Page 107 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 107
80 Herman Soesangobeng
khusus yang kemudian dikenal sebagai pondok Cina.
Sebaliknya, orang-orang Cina atau Arab yang berkeliling
menawarkan pinjaman uang dengan bunga sangat tinggi yang
disebut ‘mendering’, dilarang masuk ke dalam pemukiman
orang Depok, untuk mencegah orang-orang Depok terlilit
hutang dari tukang ‘riba’. Untuk mengatur keamanan dan
ketertiban hukum, Chastelijn memerintahkan orang Depok,
membentuk suatu sistim pemerintahan laiknya sebuah
Republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Penjaga
keamanan dan pengawas teritorial wilayahnya diserahkan
kepada seorang jago silat yang diberi jabatan dengan
nama ‘jarong’. Para warga Depok dikenai kewajiban untuk
membayar pajak yang disebut ‘cuke’. Untuk penegakkan
hukum, semua penjahat yang harus dihukum penjara (boei),
dikirim untuk dipenjara di pulau Onrust di kepulauan Seribu,
Utara Batavia. Demikianlah bentuk nyata perwujudan hak
kewajiban publik berdasarkan hukum publik Belanda yang
diterapkan Chastelijn atas tanah partikelir Depoknya di
daerah Bogor.
2.8. Hindia Belanda tetap menganut model penjualan tanah
VOC:
Setelah terbentuknya Negara Hindia Belanda, maka
sekalipun ada rencana penghapusan tanah pertikelir, namun
pola dan model penjualan tanah VOC itu, tetap diberlakukan
terhadap perolehan tanah milik Negara (landsdomein) dari
penduduk Bumiputra. Karena model serta pola penjualan
tanah oleh VOC itu, dipandang tepat dan benar bagi
penegakkan hukum pertanahan Belanda (Nederlands BW)
di tanah jajahan. Maka tanah milik Negara yang diduduki
penduduk Bumiputra berdasarkan Hukum Adatnya, disebut
‘tanah milik Negara yang tidak bebas’ (onvrij landsdomein),
sehingga ketika pemerintah membutuhkan kembali
tanahnya, tanah itu harus dibebaskan dari penguasaan
dan pendudukan penduduk Bumiputra, dalam hal ini orang