Page 108 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 108
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 81
Bumiputra harus melepaskan hak adatnya lalu menyerahkan
tanah yang dikuasainya kepada Negara sehingga menjadi
‘tanah milik Negara yang bebas’ (vrij landsdomein).
Jadi pola dan model pembebasan tanah itu, tetap dianut
pemerintah Hindia Belanda, dalam menegakkan Hukum
Pertanahan BW/KUHPInd. yang diterapkan di Hindia
Belanda. Unsur-unsur utama yang tetap dianut adalah proses
penjualan yang disebut ‘afkopen’ dengan pembayaran ‘uang
tebusan’ yang disebut ‘afkoopsom’. Bahkan setelah Indonesia
merdeka pun lembaga ‘afkopen’ dengan ‘afkoopsom’ itu masih
tetap diberlakukan terhadap warga Negara Indonesia dari
Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Namun
pola dan model VOC yang diwarisi Hindia Belanda dan
diteruskan oleh pemerintahan Negara Republik Indonesia itu,
diterjemahkan dengan menggunakan istilah bahasa hukum
Indonesia menjadi ‘pembebasan tanah’, ‘pelepasan hak’, dan
‘ganti rugi’. Dengan demikian, jiwa kolonialisme yang tidak
menghargai hak keperdataan atas tanahnya orang Bumiputra
yang kini sudah menjadi warga Negara Indonesia pun, tidak
diubah bahkan disahkan menjadi lembaga hukum sah dalam
Negara Republik Indonesia.
3. Pembenahan administrasi pertanahan dan keagrariaan:
Sistim administrasi pertanahan dan keagrariaan
setelah pembubaran VOC dengan pelaksanaan sistim
pemerintahan ‘de Bataafse Republiek’ sejak 1800, mulai
memperhatikan pembenahan administrasi pertanahan dan
keagrariaan. Namun pemerintah lebih mengutamakan
pembenahan administrasi keagrariaan daripada administrasi
pertanahannya. Pembenahan itu dimulai sejak masa
pemerintahan Gubernur General H. Daendels pada 1808-
1811, dengan memperkenalkan sistim penarikan pajak dalam
bentuk pembayaran hasil bumi maupun tenaga kerja paksa
yang dikenal dengan beberapa nama pajak yaitu ‘contigenten’,
‘verplichte leverantien’, dan ‘heerendiensten’. Demikianlah