Page 123 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 123
96 Herman Soesangobeng
Timur Asing yang sudah dipersamakan perilaku kehidupan
sosialnya dengan orang Eropah.
Ter Haar juga menyadari kesalahan pemerintah
Hindia Belanda yang memaksakan berlakunya teori
tanah ‘milik negara’ (landsdomein) di luar Jawa-Madura,
khususnya di Sumatra. Karena peringatan dan nasihat Van
Vollenhoven dan Ter Haar, diabaikan pemerintah Belanda
yang memaksakan kehendaknya dengan menggunakan
teori ‘hutan belukar’ (woeste grond theorie) dari Nols Trenite,
maka timbul perlawanan rakyat di Sumatra Barat sehingga
terjadi perang Batusangkar. Akibatnya, undang-undang bagi
pelaksanaan berlakunya teori ‘hak milik negara’ (landsdomein
theorie) di Sumatra yaitu undang-undang dengan S. 1874 No.
94f, terpaksa dijadikan undang-undang yang dirahasiakan
‘geheime Staatsblad’ . Karena itu, Ter Haar menasihati
22
pejabat dan pemerintah Hindia Belanda untuk lebih berhati-
hati dalam memberlakukan lembaga Notaris dan Advokat
terhadap penduduk Bumiputra yang lebih mematuhi Hukum
Pertanahan Adatnya daripada hukum pertanahan BW/
KUHPInd. atau hukum Barat/Belanda.
Ter Haar menjelaskan perbedaan cara berpikir penduduk
Bumiputra dengan Hakim Pengadilan Negeri, melalui
tulisannya yang diterjemahkan menjadi berjudul “Arti
kontras antara berpikir secara berpartisipasi dan berpikir
secara kritis serta peradilan menurut hukum adat” . Melalui
23
tulisan ini Ter Haar, jelaskan perbedaan mendasar antara cara
berpikir penduduk Bumiputra yang bersifat ‘berpartisipasi’
(het participeerend denken), sementara hakim pengadilan
negeri yang menerapkan cara berpikir Belanda adalah besifat
‘distantiil’ yaitu menjaga jarak, sehingga bisa bersifat tegas
dan tidak memihak (zakelijkheid) dalam menegakkan hukum.
22 Cf. Peter J. Burns, The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia,
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1999, hlmn. 21.
23 B. Ter Haar, seri terjemahan LIPI-KITLV No. 39, Jakarta:
Bhratara, 1973.