Page 130 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 130
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 103
Pejabat Notaris di Hindia Belanda pun, pada awalnya,
hanya berwenang membuat catatan berupa surat perjanjian
yang menyangkut benda, sebagai harta kekayaan yang dimiliki
dengan ‘hak kebendaan’, utamanya atas tanah dengan hak
‘eigendom’ serta hak kebendaan agraria Barat yaitu ‘erfpacht’
dan ‘recht van opstal’ yang dimiliki penduduk Eropah maupun
Timur Asing yang sudah diputuskan kedudukan sosialnya
sama dengan orang Eropah.
Jadi filosofi, ajaran, asas maupun teori hukum Notaris
sebagai ‘onbezoldigde overheids ambtenaar’ di Hindia Belanda,
hanya berwenang terhadap tanah-tanah atau benda tetap
lainnya yang dimiliki orang Eropah serta Timur Asing yang
telah diputuskan sama kedudukan sosialnya dengan orang
Belanda, hingga berhak memiliki hak Barat yang diatur
dalam BW/KUHPInd. Dengan lain perkataan, Notaris hanya
berwenang membuat catatan dalam bentuk surat perjanjian
(acte) atas tanah-tanah Barat, dan tidak berwenang atas
tanah-tanah Adat yang dimiliki serta dikuasai oleh orang-
orang Bumiputra (Indonesia).
Namun kesalahan para Notaris sejak masa Hindia
Belanda, adalah karena bersedia membuatkan akta perjanjian
tanah bagi para pihak orang Bumiputra tanpa membedakan
kedudukan hukum tanah apakah termasuk tanah Barat
ataukah tanah Adat. Kesalahan penegakkan hukum oleh
Notaris yang ikut membuatkan akta notaris (notareel acte)
bagi orang Bumiputra, adalah karena adanya politik hukum
Belanda yang disebut ‘penundukkan diri’ (onderwerping
politiek), baik secara sukarela (vrije willige onderwerping) atau
karena melakukan perbuatan hukum tertentu yang diatur
BW/KUHPInd.; dengan alasan bahwa orang Bumiputra
yang datang ke kantor Notaris telah menundukkan diri pada
lembaga hukum BW, maka Notaris pun menanggap dirinya
boleh membuatkan ‘akta notaris’ bagi orang Bumiputra yang
bersangkutan.