Page 133 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 133
106 Herman Soesangobeng
sebagai alat bukti hukum sah bagi adanya perjanjian atas
tanah oleh orang Bumiputra. Pertimbangan logika hukumnya
adalah karena ‘notareel acte’ itu dinyatakan bertentangan,
dengan empat aturan hukum.
Pertama, bertentangan dengan ajaran dan asas hukum
‘agraria antar golongan’ (agrarische conflicten recht), dalam hal
ini tanah Adat tidak dapat diubah menjadi tanah dengan hak
Barat, melalui persetujuan dari dua golongan penduduk yang
pada asasnya berbeda peraturan serta lembaga hukumnya.
Kedua, karena subjek hukum yang menjadi para pihak
dalam perjanjian yang dibuatkan ‘notareel acte’-nya itu, baik
salah seorang atau keduanya adalah subjek hukum yang
tidak berwenang (onbevoegd) dan tidak mampu (onbekwaam)
melalukan perbuatan hukum yang diatur oleh hukum
Belanda. Ketiga, karena bertentangan dengan ketentuan
dalam S. 1875 No. 179 tentang larangan pengasingan
tanah (grondvervreemdings verbod). Dan keempat, karena
tidak memenuhi persyaratan administrasi bagi pengakuan
persamaan kedudukan sosial dengan orang Belanda atau
Eropah. Dengan demikian, ‘acte’ yang dimiliki orang
Bumiputra itu, selain tidak dihargai sebagai ‘notareel acte’,
juga akan dinyatakan otomatis ‘batal dengan sendirinya’
(nietig eo ipso).
Demikian pula orang Bumiputra atau Timur Asing yang
tidak memiliki ‘besluit’ penyamaan kedudukan sosial dengan
orang Belanda melalui lembaga ‘penyamaan kedudukan
sosial’ (gelijkgesteld Europeanen-S. 1883 No. 192) dan
33
memiliki ‘notareel acte van eigendom’ yang dibuat Notaris, pun
‘acte van eigendom’-nya akan dinyatakan Pengadilan sebagai
‘tidak mengikat’ (ontbinden). Alasan hukumnya adalah
karena kebijakan politik ‘gelijkgesteld’ itu hanya ‘penyamaan
kedudukan sosial’ yang tidak otomatis berakibat hukum
berlakunya Pasal 570 BW/KUHPInd. terhadap orang
33 R. Soepomo, Sistim Hukum di Indonesia: Sebelum Perang Dunia II,
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991