Page 148 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 148
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 121
seperti halnya di Jawa pada Kesultanan Solo dan Yogya dalam
hal ini Belanda menganggap wilayah kekuasaan Raja-Raja
Jawa-Madura telah dikuasai berdasarkan ‘perang penaklukan
wilayah’.
5.3.A.4.3. Status ‘vermoedelijk recht’ atas tanah milik Negara
di daerah Swapraja:
Status hukum tanah-tanah di daerah ‘Landschap’ atau
Swapraja itu, tetap dipandang sebagai tanah milik Negara,
dengan status ‘hak milik anggapan’ (vermoedelijk recht) negara
Belanda yang dipegang oleh Raja-Raja Pribumi. Kosepsi ini
disebabkan karena penguasaan Negara Belanda berdasarkan
Agrarisch Wet 1870, tidak bisa otomatis diberlakukan, sebab
tanah di daerah-daerah Swapraja adalah ‘milik’ Raja-Raja
Pribumi, sehingga harus diakui dan peralihannya menjadi
tanah milik Negara Belanda, harus dilakukan dengan upaya
hukum berupa pernyataan berlakunya asas ‘domeinverklaring’
di daerah-daerah Swapraja yang bersangkutan. Jadi selama
‘domeinverklaring’ belum diberlakukan, maka tanah-tanah
di daerah Swapraja dipandang sebagai ‘hak anggapan’
(vermoedelijke recht van eigendom) dari Negara Belanda,
sampai diberlakukannya asas ‘domeinverklaring’. Setelah
ada pemastian hukum berlakunya asas ‘domein’ di satu
daerah Swapraja tertentu, barulah tanah dalam wilayah
Swapraja yang bersangkutan menjadi tanah ‘milik negara’
(landsdomein) penuh dan mutlak. Itu sebabnya, maka dikenal
amat banyak undang-undang berlakunya ‘domeinverklaring’
di luar Jawa- Madura, dengan segala resikonya antara lain:
(a). timbulnya perdebatan antara madzhab hukum adat
Leiden dan Utrecht, serta (b). perang Batusangkar pada
tahun 1929, ketika pemerintah Belanda ingin memaksakan
pelaksanaan asas ‘domeinverklaring’ di Sumatra Barat.
5.3.A.4.4. Keputusan agraria oleh pejabat ‘bezoldigde overheids
ambtenaar’ di daerah Swapraja:
Daerah-daerah kekuasaan Belanda itu kemudian